Pagi
ini hujan amat menyenangkan. Tidak deras, tidak juga sekedar rintik. Dan hujan
seperti ini selalu mengingatkanku tentangmu. Pada teduh pandanganmu yang tak
pernah bosan aku nikmati pendarnya. Pada rengek manjamu yang selalu aku nikmati
bagai lantun irama mendamaikan jiwa. Ah, sedang apa kamu disana? Biasanya selalu
sms-mu yang pertama kali ku baca saat terjaga. Mengapa pagi ini tak ada? Ah
iya, aku lupa… semalam kamu pasti sibuk sekali. Sibuk menyambut pangeran yang
selama ini kamu impikan. Iya kan?!
Setelah
semua kegagalanku membujuk hatiku untuk berani jujur padamu, setelah segenap
ketakutanku yang terus menghantui tidurku jika kamu akhirnya mengetahui
gemuruhnya hatiku, akhirnya aku harus mengakui bahwa ternyata aku tak cukup tegar
saat harus melepasmu. Dan pergi dari
kota itu, menjadi satu – satunya jalan keluar yang mampu aku raba di tengah
guitanya perasaanku.
Namun
aku lega, aku bahagia. Karna sampai saat yang mengharuskan aku harus menjauh
darimu, kamu tetap menyimpan namaku di hatimu sebagai sahabat terbaik tanpa
celah, seperti yang selalu kamu ucapkan dulu. Aku lega, dan aku bahagia karna
akhirnya kamu menemukan sebongkah hati yang tampak begitu tulus mencintaimu,
yang aku yakin kan selalu menjagamu jauh lebih baik dari yang selama ini aku
lakukan untukmu.
Kamu
mungkin tak tahu tentang betapa luluh lantaknya hatiku senja itu. Saat binar
matamu berpendar amat mengagumkan, lalu dengan nada riang menumpahkan segala
cerita yang menjadi penyebab utamanya. Tapi aku berharap kamu memang takkan
pernah tahu.
“Kunyuk…
Aku dilamar...” pekikmu sembari meremas jari – jariku yang masih terasa gemetar
setiap bertemu denganmu.
Ah,
maafkan aku. Maafkan aku yang tak benar
- benar menjadi pendengar terbaikmu senja itu. Entahlah… daya pendengaranku
seperi lumpuh seketika mendengar sepenggal kalimat itu.
Aku
yang salah. Memang aku, bukan kamu! Harusnya aku bisa lebih membentengi hatiku
agar tak seceroboh itu mencintaimu. Harusnya aku menuruti nasehatmu, bahwa
selamanya aku harus menganggapmu sebagai adik dan bukan yang lain yang lebih
dari itu. harusnya aku tak selemah itu membiarkan perasaanku padamu sedikit
demi sedikit berbelok arah hingga akhirnya sempurna berubah hanya karna terau
sering melihat tawa riang dan pendar matamu.
Aku
tak tahu betapa marahnya kamu jika mengetahui apa yang selama ini aku tutupi
dengan rapatnya di balik dada bidangku. Dari sejak putih abu – abu masih jadi pakaian keseharian
kita, hingga kini kemeja dan dasi menjadi gantinya, aku masih selalu sama. Amat
jera melihatmu sedih atau menangis, apalagi jika itu karnaku. Jangankan
melihat, membayangkan saja aku tak berani. Dan ketidakberanian itu yang
membuatku lebih memilih untuk membohongimu, Meski hatiku pun bernanah karnanya.
Semoga kamu memaafkanku.
***
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)