Aku
pernah menangis karena kamu yang tak jua mengerti atas keputusanku. Yang tak
juga percaya bahwa ini tak hanya berat untukmu, melainkan juga untukku.
Aku
pernah menangis karena sebuah kesadaran atas perbedaan. Perbedaan yang sama –
sama membangunkan kita pada sebuah kedewasaan bahwa bersatu, adalah sebuah
ketidakmungkinan.
“Perbedaan
ini seharusnya tidak menjadi penghalang untuk kita!” itu katamu.
“Perbedaan
ini adalah hal utama yang membuatku mampu mengambil keputusan se – menyakitkan
ini!” itu jawabanku.
Bersatu
denganmu adalah salah satu episode yang amat aku inginkan untuk ada dalam
lembaran sejarah hidupku. Duduk bersama menikmati senja, saling menggenggam
tangan menguatkan saat badai menerpa, lalu tersenyum memaklumi kala pikun telah
menjadi karib kita. Tapi kamu harus tahu… bahwa aku memiliki impian yang jauh
lebih aku inginkan dari itu semua. Tersenyum sambil bercengkrama di atas dipan
– dipan, menikmati aliran sungai yang airnya lebih lembut dari susu serta lebih
manis dari madu. Dan itu tak mungkin aku dapatkan jika aku tetap memilihmu
sebagai pelengkap separuh hidupku.
“Lalu
siapa yang salah?” tanyamu disatu senja pada pantai cinta yang menjadi tempat
favorit kita.
Aku
terdiam. Karna aku tahu, kamu tak butuh jawaban. Jika memang harus ada yang di
salahkan, biarkan aku yang menjadi tumbal. Aku yang membukakan pintu ketika
kamu mulai mengetuk – ngetuk pintu ketertarikan. Aku yang terlampau meremehkan
benih keakraban yang kian hari kian memabukkan. Aku yang telah membiarkan semua
harap tumbuh dan merekah bersama jalin rasa yang kian mengakar menyatukan hati
kita. Aku yang pernah teramat naif mengharapkan kamu akan bersedia berkompromi untuk
menghapus semua perbedaan. Ya, mungkin memang aku yang paling patut untuk
disalahkan…
“Apa
memang tak lagi ada jalan?” tanyamu kemudian.
Aku
menggeleng lemah, jengah. Jerih mengingat ibu dan ayahku yang amat terluka
ketika asal – usulmu aku sebutkan. Payah menjelaskan bahwa tak akan ada
kesepakatan yang aku iya – kan dengan tetap membiarkan perbedaan ini tetap ada.
Senja
itu, kamu lalu berjalan mendekati ombak yang ramah menerjang. Aku lalu mengikutimu,
berdiri terpaku tepat di belakangmu. Diam – diam, aku mengusap ujung mataku
yang basah, entah oleh apa. Gundah ini sungguh amat menyiksa, ketika harus
melihatmu yang pernah selalu menjadi penjaga nyala api semangatku, kini justru
tampak begitu tertatih menerima semua keputusanku.
Terkadang
aku tak percaya. Lalu terus bertanya, benarkah sebegitu cintanya hingga tampak
amat sulit untuk menerima bahwa kita tak akan pernah berlabuh pada satu
dermaga?! Kemudian kembali bertanya, murnikah semua rasa yang kamu
persembahkan, karna terlalu banyak yang mengatakan bahwa tak mungkin tanpa
tendensi lain atas cinta yang kamu pautkan.
Entahlah.
Aku bahkan tak pernah benar – benar berusaha mencari jawaban atas pertanyaan
yang memenuhi angan. Yang aku tahu, bahwa di luar perbedaan yang membentang,
pribadimu sempurna untuk terus ku kenang.
Tiba
– tiba kamu membalikkan badan, hingga wajah kita tepat berhadapan.
“Lalu
bagaimana?” tanyamu.
“Kita
cukupkan!” jawabku, sembari sekuat tenaga memejam mata, menahan bulir – bulir
air yang mendesak – desak ingin segera keluar.
Kamu
mengangguk – angguk samar. “Tuhan memang satu, kita yang tak sama…” begitu
katamu, mengutip kata – kata dari sebuah lagu sembari menepuk – nepukkan tangan
pada bahuku, seolah ingin selalu menguatkan.
Aku
tersedu. Memandangmu yang segera berlalu menjauh dariku, dari pantai cinta
tempat favorit kita. Memandang punggung bidangmu, yang pernah aku harapkan
menjadi penyangga seluruh sisa hidupku di dunia. Hingga tak lagi nampak
siluetmu di penghujung senja, aku masih dengan sedu sedan yang tak pernah ingin
aku tunjukkan.
Dan
hari ini, akhirnya aku tahu. Bahwa cinta memang tak pernah salah. Kita – lah
yang terkadang amat ceroboh lalu menempatkannya pada tempat yang salah, yang dari
kejauhan tampak begitu indah.
cinta memang tak pernah salah :)
BalasHapusmengaharukan :)
@Muthofa M Thoha... terimakasih atas kunjungannya di blog amatiran saya :)
BalasHapus