Waktu maih kuliah dulu, seriiiiiiiing banget liat ada seminar-seminaar bertema "Wirausaha", bahkan beberapa kali sempet jadi peserta dan sempet nimbrung jadi panitia juga. Emm, jujur ya.... saat itu aku belum bener-bener paham dan ngerti kenapa mereka-mereka itu sangat tidak menganjurkan kita menjadi pekerja (karyawan), dan amat semangat mengkampanyekan anjuran berwirausaha. "Kalo wirausaha itu kan serba nggak pasti, penuh spekulasi. Kalo jadi karyawan lebih pasti, sebulan dapet sekian dan bisa langsung di anggarkan untuk keperluan-keperluan", pikir otak bermental 'karyawan'-ku saat itu.
Dan hari ini, setelah satu bulan lebih melepaskan gelar kebesaran sebagai mahasiswa dan keluar dari hiruk pikuk dunia kampus, lalu hujrah menuju dunia kerja yang amat jauh lebih hiruk pikuk, akhirnya aku mengerti...
Ya... akhirnya aku mengerti alasan mereka para 'juru kampanye' be enterpreneur, setelah beberapa saat merasakan menjadi 'karyawan'. Bekerja di suatu perusahaan, sebesar apapun perusahaan tersebut, tetap saja kita itu sekedar 'bawahan'. Menurut salah satu sahabat, "Jarang sekali ada atasan yang benar-benar mengakui keberadaan kita dalam perputaran roda bisnisnya". Yah, saya rasa itu benar. Sebagai karyawan kita sudah dihargai dengan gaji sekian rupiah atas segala daya dan upaya kita untuk perusahaan tersebut, jadi mending nggak usah lah terlalu berharap dapet penghargaan-penghargaan 'non-materiil' yang bisa-bisa bikin kecewa. (meskipun pasti tetap ada perusahaan yang amat menghargai karyawan).
Dan akhirnya aku juga mengerti mengapa kakak perempuanku begitu keras hati berprinsip "tidak akan mau jadi bawahan orang" (baca: karyawan).
Saat aku menulis ini, aku sedang tidak berniat mengeluhkan perusahaan tempat aku bekerja. Aku juga tidak menganggap perusahaan tempat aku bekerja tidak menghargai karyawannya, sama sekali bukan. Ini semata-mata salah satu bentuk kegalauan 'karyawan baru' yang masih dalam tahap penyesuaian diri. Jujur aja, sebagai anak bontot yang selama ini suka 'berlagak bos' dirumah, menjadi karyawan yang harus sedia setiap saat jika pimpinan atau senior di kantor menyerukan perintah untuk dilaksanakan adalah hal yang amat butuh kompromi bagi hati dan egoku. "Hemm, aku kan bawahan ya...", batinku.
Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menikmati setiap proses ini dengan sebaik mungkin, sambil terus menyusun mimpi dan do'a: agar Allah memampukan aku untuk menjadi seorang wirausaha suatu saat.
Jadi semakin mengerti juga kenapa Rasulullah amat menganjurkan kita berdagang (menjadi wirausaha). Bahkan di salah satu hadist beliau mengatakan bahwa 9 dari 10 pintu rizki adalah dengan berdagang, bukan?!
Jadi inget juga kata-kata seorang sahabat sekaligus guru, "Kenapa jadi seorang wirausaha punya derajat yang lebih di mata Rasulullah? Mungkin karna dengan jadi pengusaha yang penghasilannya serba tidak pasti, maka kita akan semakin MENDAHSYATKAN doa dan munajat kita pada Allah"
Ya.... Akhirnya aku mengerti :)
Dan hari ini, setelah satu bulan lebih melepaskan gelar kebesaran sebagai mahasiswa dan keluar dari hiruk pikuk dunia kampus, lalu hujrah menuju dunia kerja yang amat jauh lebih hiruk pikuk, akhirnya aku mengerti...
Ya... akhirnya aku mengerti alasan mereka para 'juru kampanye' be enterpreneur, setelah beberapa saat merasakan menjadi 'karyawan'. Bekerja di suatu perusahaan, sebesar apapun perusahaan tersebut, tetap saja kita itu sekedar 'bawahan'. Menurut salah satu sahabat, "Jarang sekali ada atasan yang benar-benar mengakui keberadaan kita dalam perputaran roda bisnisnya". Yah, saya rasa itu benar. Sebagai karyawan kita sudah dihargai dengan gaji sekian rupiah atas segala daya dan upaya kita untuk perusahaan tersebut, jadi mending nggak usah lah terlalu berharap dapet penghargaan-penghargaan 'non-materiil' yang bisa-bisa bikin kecewa. (meskipun pasti tetap ada perusahaan yang amat menghargai karyawan).
Dan akhirnya aku juga mengerti mengapa kakak perempuanku begitu keras hati berprinsip "tidak akan mau jadi bawahan orang" (baca: karyawan).
Saat aku menulis ini, aku sedang tidak berniat mengeluhkan perusahaan tempat aku bekerja. Aku juga tidak menganggap perusahaan tempat aku bekerja tidak menghargai karyawannya, sama sekali bukan. Ini semata-mata salah satu bentuk kegalauan 'karyawan baru' yang masih dalam tahap penyesuaian diri. Jujur aja, sebagai anak bontot yang selama ini suka 'berlagak bos' dirumah, menjadi karyawan yang harus sedia setiap saat jika pimpinan atau senior di kantor menyerukan perintah untuk dilaksanakan adalah hal yang amat butuh kompromi bagi hati dan egoku. "Hemm, aku kan bawahan ya...", batinku.
Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menikmati setiap proses ini dengan sebaik mungkin, sambil terus menyusun mimpi dan do'a: agar Allah memampukan aku untuk menjadi seorang wirausaha suatu saat.
Jadi semakin mengerti juga kenapa Rasulullah amat menganjurkan kita berdagang (menjadi wirausaha). Bahkan di salah satu hadist beliau mengatakan bahwa 9 dari 10 pintu rizki adalah dengan berdagang, bukan?!
Jadi inget juga kata-kata seorang sahabat sekaligus guru, "Kenapa jadi seorang wirausaha punya derajat yang lebih di mata Rasulullah? Mungkin karna dengan jadi pengusaha yang penghasilannya serba tidak pasti, maka kita akan semakin MENDAHSYATKAN doa dan munajat kita pada Allah"
Ya.... Akhirnya aku mengerti :)
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)