Saya membeli novel
9 Matahari ini sekitar sebulan yang lalu di Gramedia Amaris (Semarang). Pertama
tertarik beli novel ini karna say abaca tulisan di salah satu blog favorit saya
(Rumah Matahari, red). Mbak Syam, si pemilik blog memberikan sedikit uraian
tentang kelebihan novel ini.
gb. ambil dr gugel
Awal-awal baca,
jujur saya agak kecewa sih sama novel ini. Mungkin karna saya udah punya
ekspektasi cukup tinggi kali ya gara-gara baca uraian mbak Syam tentang ini
novel. Kenapa saya kecewa? Pertama, karna novel ini saya rasa nggak bikin
penasaran dan nggak bisa bawa jiwa saya ikut masuk ke dunia si Matari. Kedua,
novel ini lebih mirip seperti buku harian si Matari. Pembaca sama sekali nggak
di ajak untuk benar-benar mengenal detail dunia Matari. Nggak ada penggambaran
tentang fisik Matari, fisik orang-orang di kehidupan Matari, dll. Juga nggak
ada penggambaran ekspresi dalam dialog-dialog antar tokohnya (yang juga sangat
minim). Kenapa itu penting bagi saya? Karna penggambaran fisik, cara
berpakaian, dan ekspresi-ekspresi saat bicara berbanding lurus dengan
pengahayatan pembaca dan keinginan untuk terus membaca sampai ending. Juga sangat berpengaruh pada
imajinasi pembaca atas apa yang ia baca.
Tapi, sampai di
pertengahan Bab novel tersebut, emosi saya mulai terbawa. Saat si Matari
“tumbang” atas peliknya masalah-masalah hidupnya, dan saat ia mencoba bangkit
dan menguatkan kaki untuk kembali tegak menghadapi apapun di depannya setelah
bertemu orang-orang baik yang memberinya semangat.
Well, di tengah
‘sedikit’ rasa kecewa saya pada novel ini, saya tetap salut pada sosok Matari.
Seorang anak muda yang penuh energy, dan
yang punya tekad teramat besar untuk memperjuangkan mimpi-mimpiny meski
dihadang beribu macam kesulitan.
Malu juga kalau
inget bahwa dulu aku rajin sekali mengeluh merasa banyak sekali mengalami
kekurangan saat masa-masa kuliah. Aku lupa, bahkan mungkin belum sadar, bahwa
ada orang-orang seperti Matari yang harus memperjuangkan kuliahnya meski
taruhannya adalah nasib perutnya sendiri.
**Ampuni aku yang rajin mengeluh ini Rabb…
Rosa,
17 Desember 2012
coba baca semi sequelnya Cha, yang judulnya 23 Episentrum mungkin tertarik. kalau saya sendiri sih suka :)
BalasHapusbelum sempet ke tobuk 2 bulan terakhir ini mbak :(
BalasHapusbeginilah nasib orang yg tinggal di kota yg nggak punya tobuk gedhe... huhu...
emm,tapi akan saya masukkan sbg daftar buku yg bakal aku intip ;)