gb. diambil dr google
Suatu pagi, beberapa hari yang lalu, sesaat sebelum saya
berangkat kerja. Saya heboh berlari kesana kemari mencari kaos kaki favorit saya.
Kenapa favorit, karna kaos kaki itu paling nyaman di pake’.
“Bu, kaos kakiku yang #@8*!3 *menyebut merek!* mana ya???”
“Kemarin kan udah ibu suruh nyimpeni sama kamu setelah di
lipetin? Langsung di simpen nggak kemarin?”
Aku mringis. Lagi-lagi ‘lupa’ memenuhi perintah
ibu. Dan setelah semakin kalang kabut, ternyata kaos kaki itu nyasar ke almari
keponakan saya. Siapa lagi kalau bukan mbah saya pelakunya :D
Pagi selanjutnya, beberapa hari setelah pagi itu, saya
kembali dibuat kalang kabut. Kali ini bukan kaos kaki, tapi ciput jilbab saya.
Aaarrrgghhh… padahal saya sudah cukup kesiangan hari itu.
“Ibuuuuu….. lihat ciput jilbab saya nggak???” seruku,
dengan wajah setengah putus asa setelah mengaduk-aduk almari.
Ibu hanya menghela nafas. Sepertinya helaan hasil
kombinasi antara mencoba sabar dan gregetan pada saya. Hihihi…
Singkat kata, beliau akhirnya turun tangan membantu saya
mencari ciput tersebut. Dan, Ahaaa!!! Ibu memang selalu bisa di andalkan. Ciput
itu berhasil ditemukan ibu tengah bertengger manis di ember tempat baju-baju yang
belum di settrika.
Yah, begitulah 2 dari sekian banyak kehebohan saya yang
semakin menunjukkan masih amat payahnya kemampuan saya mengurus hidup saya
sendiri. tiba-tiba saya jadi merenung. Sejak semester akhir kuliah, saya dan
hampir semua teman saya sering sekali heboh membicarakan keinginan menikah. Ah,
wajar mungkin sih ya untuk gadis-gadis seumuran kami.
tapi saya jadi nanya ke diri saya sendiri, apa iya
keinginan menikah muda saya berbanding lurus dengan usaha saya untuk
mempersiapkan diri menghadapi pernikahan itu sendiri? Ah, dengan segala
kerendahan hati saya mengakui, tidak!
Saya lebih sering sibuk meramu doa tentang seperti apa
sosok imam saya kelak, tanpa membersamainya dengan usaha yang seimbang untuk belajar
menjadi calon makmum yang pantas untuk imam seperti itu. Saya lebih sering
berangan-angan tentang kebaya warna apa yang saya pakai nanti, model jilbab
seperti apa, dekorasi yang mana, susunan acara semenarik apa untuk hari akad
nikah saya, dll, tanpa menyeimbangkannya dengan persiapan menghadapi ribuan
hari selanjutnya yang konon akan penuh dengan terpaan badai cobaan.
Ah, bodohnya saya! Mungkin sama sekali tidak ada yang
salah dengan keinginan menikah muda saya. Ribuan pahala dihamparkan Allah untuk
mereka yang telah bergelar istri. tapi tentu saja unuk istri yang benar-benar
mampu memikul segala amanahnya dengan baik. Lalu bagaimana dengan saya??? Ah,
sekedar mengurus kaos kaki dan ciput jilbab saya sendiri saja saya masih sangan
belepotan, apalagi mengurus ‘anak orang’???
*sungguh saya sangat sedih menuliskan kalimat tersebut* :’(
Yang paling penting, saya sekarang jadi lebih mengerti…
Allah tidak memberi apa ang kita pinta, tapi Allah selalu memberi apa yang kita
butuhkan dan yang sesuai dengan kadar kemampuan kita menerima hal tersebut. So,
kalau Allah masih ‘menunda sementara’ doa-doa saya tentang pernikahan, pastilah
semata karna Allah tau bahwa kualitas saya belum sampai pada tahap pantas untuk
menerimanya.
Jadi apa yang harus saya lakukan sekarang??? Memantaskan
diri-lah.. apalagi???!!!!
Rosa,
28 Desember 212
follow sukses...follow balik y ^_^ salam persahabatan
BalasHapushttp://jagadkawula.blogspot.com/
Iya nanti aku follow balik..
Hapusmaksiih ^^
mihihihi mirisa bacanya yang emang usaha kita untuk mendapatkan jodoh harusnya bisa berikhtiar lebih baik bukan hanya berkoar-koarnya saja "pengen nikah" (kaya aku) ehheh
BalasHapushahaha... ntar kalo udah nikah masak iya minta suami ngurus kaos kaki kita yah :D
Hapus