Entah kapan tepatnya
di berbagai stasiun TV kita, banyak bertebaran acara yang mengangkat tema
masyarakat dengan kehidupan masih tergolong “tertinggal”, baik dari segi
ekonomi, kebudayaan, ataupun pendidikan. Secara umum, bisa dibilang saya suka
sih. Meskipun saya nggak suka acara semacam itu yang menurut saya hanya
“menjual” penderitaan seseorang, dengan narasi terlalu berlebihan.
Pernah sekali atau
dua kali saya tidak sengaja “bertemu” dengan acara semacam itu saat tengah
menonton TV. Pada episode tersebut, mereka mengangkat tema seorang dokter muda,
yang dengan sukarela ditempatkan di daerah super terpencil. Dengan fasilitas
seadanya, peradaban jauh dari kehidupan sehari-harinya selama ini, dan dengan
amat minimnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Berat, dia mengakui itu.
Saat di malam gelap ternyata ada seorang ibu yang hendak melahirkan, dan
ternyata kondisinya tidak memungkinkan untuk melahirkan normal, sedangkan rumah
sakit yang punya fasilitas memadai amat jauh dari jangkauan, dan banyak lagi
kondisi yang ia rasakan amat berat. Saya amat kagum dengan dokter muda
tersebut. Bukan saja pengorbanannya, tapi juga ketulusannya untuk membaur
dengan masyarakat yang mungkin bisa dibilang “beda kelas” dengannya.
Selain pada episode
itu, saya pernah juga melihat acara tersebut mengangkat sosok guru dan
sukarelawan-sukarelawan dengan kondisi tidak jauh berbeda dengan cerita dokter
diatas. Tapi saya lantas kecewa. Ketika beberapa saat lalu saya bersama ibu
pergi ke Puskesmas dekat rumah, saat hendak masuk kami melihat tulisan cukup
besar bertuliskan “ALAS KAKI DILEPAS” terpampang dengan jelas. Dengan sama
sekali tidak keberatan kami mematuhi. Begitu juga dengan semua pengunjung lain.
Tapi bagaimana dengan para pegawai Puskesmas tersebut, yang notabene adalah “pelayan” kami –
masyarakat? Ya, dengan amat terpaksa saya harus mengatakan bahwa justru
mereka-lah orang yang justru melanggar peraturan amat sederhana di lembaga
mereka sendiri. Ah, mungkin sepatu mereka terlalu bersih dan saying untuk
dilepas. Atau jangan-jangan sepatu tak lagi termasuk alas kaki?? Entahlah.
Yang jelas tidak
sekali dua kali saya mendengar cerita tentang mereka para pelayan public di
desa kecil kami, yang kebanyakan datang dari kota lain. Tentu tidak hanya soal
alas kaki, tapi juga tentang mereka yang mendapat stempel ‘angkuh’ dari
sebagian besar masyarakat. Mungkin naïf sekali memang perbandingan saya ini.
Bukankah acara tersebut memiliki scenario, dan pastilah yang ditampilkan hanya
yang baik-baik saja. Tapi kami, rakyat jelata, tidakkah boleh berharap bisa
sekedar berbincang akrab saat mengeluhkan apa yang kami rasa pada mereka, tanpa
ada sekat tentang kelas kami dan mereka? Apakah ini tentang kasta?
**Tulisan ini saya buat, semoga menjadi refleksi
untuk diri saya sendiri terutama, yang mungkin masih amat sering melanggar
peraturan-peraturan yang nampaknya ‘sepele’. Juga sebagai pengingat saat setitik kesombongan
hendak membersit. Semoga Allah berikan hati ini kekuatan, untuk tidak pernah
memandang rendah orang lain.
hai.salam kenal ^^
BalasHapussalam kenal juga mbak :)
HapusHaloo...
BalasHapusAda juga nih kadang peraturan. "Roda 2 harap turun" sementara yang roda 4 melenggang. :)
waahh... saya belum pernah ketemu peraturan itu ik mbak... jauh lebih diskriminatif yah >,<
Hapusmakasiih kunjungannya mbak shabrina :)
Kisah ini ada di di kehidupan nyata ku mbak. Tapi bukan cerita yang sendal di lepas ya. Yang tentang perjuangan dokter di tempat terpencil. Mama papa ku seorang bidan dan perawat. Gak usah jauh-jauh keluar pulau. Di jawa ini masih banyak desa terpencil seperti hutan. Aku melihat langsung seorang pengendara kecelakaan yang hampir putus tangannya di tandu oleh warga kampung, ada juga yang keracunan gas diesel di dalam sumur. LIVE. Ngeri sekali. Perjalanan ke kampung sebelah harus mutar dulu lewat salatiga. dulu waktu kecil pernah diajak naik motor. Kadang desa yang masih terbelakang, pengobatan pergi ke dukun. Aku baru tahu kemaren saat semseter 4 atau 6. mamaku pernah sampe di santet sama dukun di kampungku. Ini juga aku tahu nya dari budhe ku mbak. Lain kali aku bikin kan tulisan tentang ini.
BalasHapusBlogmu bagus deh mbak,
Ririn
Waahh... ternyata di Jawa sendiri masih ada yaa kayak gitu. Iya dek, ayok ditulis... berbagi cerita.
HapusTerimakasih sudah berkunjung :)