Sudah
berapa lama saya sadar mengenakan jilbab? Baru tiga tahun. Apa selama tiga
tahun kesadaran itu jilbab saya sudah baik? Belum.
Perjalanan
saya hingga sampai pada sebuah gumpal kesadaran bahwa berjilbab adalah
kewajiban yang tak bisa ditawar memang bukan kisah luar biasa. Saya tidak
menemui banyak rintangan, seperti larangan dari keluarga atau semacamnya,
seperti kisah-kisah mengharukan dari banyak saudari muslimah kita di luar sana.
Satu-satunya rintangan yang saya temui adalah diri saya sendiri. Tentang
bagaimana saya memantapkan hati, lalu memulai langkah untuk selangkah lebih
baik sebagai seorang hamba.
gb. diambil dr google
Jilbab
sudah saya kenal sejak kecil. Lalu belajar mengenakannya saat mask SMA, meski
baru sebatas pake’ jilbab kalo ke sekolah, selebihnya belum. Meski sejak kelas
2 SMA, benih-benih impian bahwa saya akan berjilbab tak hanya ke sekolah mulai
tersemai. Segala puji hanya bagi Allah, yang telah membuat hatiku dan hati
keluargaku memilih UNISSULA sebagai tempatku melanjutkan studi. Ya, tempat
itulah yang menjadi gerbang dari banyak sekali bongkah-bongkah hidayah.
Sejak
kuliah semester 2 dan mulai sesekali mengikuti kajian keislaman, mulai ada
larik-larik keresahan yang datang mengusik. Tentang kesadaran bahwa saya belum
memenuhi salah satu kewajiban paling pokok dari seorang wanita yang mengaku
Allah sebagai Tuhannya, Rasulullah Nabinya, dan Al-qur’an Kitabnya.
“Saya pengen
berjilbab, Mbak. Tapi malu. Di desa saya, yang sehari-hari pake’ jilbab umumnya
tu orang pondokan, yang pinter ngaji. Lha , saya? Ngajinya aja masih kacau.
Takut juga nanti di omongin sama tetangga-tetangga…” curhat saya pada Mbak Inas,
mentor ngaji saya saat itu.
Beliau
tersenyum manis, lalu berkata lembut, “Pilih
diomongin tetangga, tapi Allah ridho sama Rosa, atau nggak diomongin tetangga
tapi Allah nggak ridho sama Rosa?”
Kata-kata
tersebut, begitu menghujam dalam ke hati saya saat itu. Gumpal keresahan makin
menjadi. Hingga muaranya, dengan mengucap Bismillah,
saya memantapkan hati untuk berjilbab saat itu.
Lalu
selama tiga tahun kesadaran berjilbab saya itu, terus berusaha memperbaiki
jilbab saya? Ini yang paling saya sedihkan dari diri saya. Bukankah manusia
yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah manusia yang celaka? Yaa Robb… ampuni hamba dhoif ini…
Ya,
ternyata saya lengah. Saya lalai menjaga hidayah yang Allah anugrahkan pada
saya. Hidayah yang ribuan orang tak pernah beruntung mendapatkannya. Tidak,
saya tidak melepas sama sekali jilbab saya. Naudzubillah, semoga Allah
menghindarkan saya dari yang seperti itu.
Tapi
lihatlah, saya mulai melonggar dalam menjaga jilbab saya. Prinsip-prinsip
syar’I dalam berpakaian mulai saya lupakan. Jilbab saya mengecil. Bahkan saya
melonggar saat ada sepupu laki-laki atau ipar yang tiba-tiba datang sedangkan
saya dalam keadaan tidak berjilbab.
Astaghfirullah…
sebegitu futurnya kah saya? T.T
Dan
hari ini, menjelang Ramadhan seminggu lagi, dengan menyebut nama Allah, saya
berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya akan kembali berproses memperbaiki
diri, meski selangkah demi selangkah, meski sendiri, tanpa ada teman-teman yang
selalu siap menemani proses perbaikan diri saya. Semoga Allah meridhoi niat dan
keinginan saya, serta memudahkannya. Aamiin…
Refleksi 3 tahun perjalanan jilbab saya, semoga
saya istiqomah.
Pancur, 29 Juni 3013