Nama
lengkapnya Nindhi Puspita Sari, panggilannya Nindhi. Kami berteman sejak SMP.
Takdir Allah telah membuat kami bertemu bahkan saat pertama kali menginjakkan
kaki di sebuah SMP favorit di daerah kami, saat baru hendak mendaftar.
Ya,
singkat cerita akhirnya kami bersahabat, ditunjang dengan rumah yang searah
hingga memungkinkan kami pulang dan pergi bersama naik bus. Persahabatan,
seperti juga ikatan hubungan yang lain, selalu punya cobaan juga
kemungkinan-kemungkinan untuk terurai ikatannya dan bubar. Nah, disinilah
menariknya. Kami bersahabat sejak SMP, dan seingat saya belum pernah kami
bertengkar, lalu diem-dieman, atau masalah-masalah kecil khas persahabatn ABG
yang lain. Saya nggak Cuma punya 1 sahabat, tapi hanya sama Nindhi ini saya
melaluinya hampir tanpa riak.
Saat
lulus SMA, pilihan sekolah kami berbeda. Bahkan sekolah yang kami pilih ada di
kabupaten yang berbeda. Tapi Alhamdulillah silaturahim masih tetap terjaga.
Meski ketemu nggak pasti sebulan sekali, sms-an pun nggak intens, tapi nggak
tau kenapa kalau ketemu trus ngobrol, rasanya nggak pernah ada jarak yang
terbentuk atas terbatasnya intensitas komunikasi kami. Dan nggak Cuma sama
nindhinya, keluarganya pun sudah seperti keluarga saya.
Padahal
kalau dipikir-pikir kami itu punya karakter yang bagai langit dan bumi loh!
Hampir nggak punya kesamaan. Saya yang culun, dia yang modis abis. Saya yang
lebih sering memilih lingkungan pertemanan dikalangan anak-anak ‘baik’ dan
nggak neko-neko, dan dia yang kalangan pergaulannya anak-anak ‘gaul’. Saya yang
menghadapi segala sesuatu penuh pertimbangan, kekhawatiran, dll, dan dia yang
menghadapi segala sesuatu tanpa beban, benar-benar seperti air mengalir saja.
Ya,
inilah yang membuat dia benar-benar beda dengan tipe rata-rata teman saya
(bahkan saya sendiri). Nindhi bukan tipe orang yang suka berlebai-lebai dalam
perasaan, terutama kesedihan. Sebulan lalu, dia harus menerima kenyataan bahwa
‘orang terdekatnya’ selama kurang lebih 6 tahun terakhir ini tutup usia. Ah,
jangankan nindhi yang sebegitu dekat dan ikut serta total menemani saat-saat
terakhirnya, saya yang sama sekali nggak dekat saja rasanya nyeri. Terlepas
dari kenyataan bahwa saya nggak pernah simpatik (apalagi membenarkan)
‘kedekatan’ mereka selama ini, saya amat tahu bahwa kehilangan orang terdekat
apalagi konon juga tersayang, pasti menyakitkan. Tapi apa pernah nindhi
terlihat menangis tersedu-sedu, nggak mau makan, mengurung diri, mata sembab,
wajah kusut, hidup nggak bergairah… setau saya nggak pernah.
“Jujur
sampe sekarang aku masih selalu nangis tiap menjelang tidur, tapi kalo di depan
Bapak, Ibu, Astri ato kamu… ya nggak lah, kamu kan tau aku nggak biasa
menunjukkan kesedihan di depan orang!” begitu katanya saat kami menghabiskan
hari minggu kemarin bersama.
Ya,
ditengah musim galau dan menjamurnya kaum alay belakangan ini, saya bahagia
masih punya teman yang sama sekali nggak termasuk di dalamnya J
Kadang
ada perasaan takut sih… ada yang bilang (entah siapa, lupa!) kalau sesuatu yang
tanpa riak justru kadang malah langsung luluh lantak karna sekali terjangan
ombak. Ah, tapi saya sih khusnudzon saja, semoga Allah berkenan membantu kami
menjaga silaturahim ini tetap baik.
NB:
salah satu doa terpenting saya untuk nindhi adalah, semoga ia segera bisa hidup
hemat!