(Bukan) Review "Temui Aku di Surga"

on
Rabu, 18 September 2013
Setelah beberapa lama nggak nulis, membiarkan mimpi-mimpi kembali stagnan dan blog terbengkalai, mala mini bertekad untuk kembali menggerakkan jari jemari. Meskipun sekedar torehan yang tak bisa dikata indah, namun semoga tetap ada manfaatnya, setitik pun tak apa.

Karna untuk nulis fiksi merasa sedang nggak mungkin, maka saya putuskan untuk menulis sesuatu yang sebenarnya pernah saya janjikan pada seseorang. Bukan, saya bukan lupa. Saya masih ingat pernah berjanji pada Mbak Ella Sofa untuk me-review novel beliau yang berjudul “Temui Aku di Surga”. Tapi jujur saja saya nggak pede. Kenapa nggak pede? Banyak! Tapi yang utama,karna  saya belum pernah sekalipun me-review novel. Selama ini saya murni hanya seorang penikmat. Lalu misalpun diminta bercerita tentang isi novel yang say abaca, saya akan menceritakannya tanpa alur, loncat sana loncat sini sesuka hati saya.

Tapi janji tetaplah janji. Saya akan tetap berusaha me-review “Temui Aku di Surga” dengan gaya saya sendiri. Bagi teman-teman yang sudah terbiasa me-review atau membaca review sebuah novel, pastilah akan berkata bahwa ini (bukan) review “Temui Aku di Surga”.

Oke, langsung saja. Novel “Temui Aku di Surga” bercerita tentang dua orang pemuda bernama Yudho dan Malik yang bersahabat baik. Lewat persahabatan, mereka berdua membangun mimpi-mimpi masa depan. Mereka memulai langkah menjemput mimpi tersebut dengan bekerja sama mendirikan sebuah kios kaca. Malik punya modal, dan Yudho punya keahlian.

Seperti kebanyakan anak muda, Yudho dan Malik juga punya sisi idealisme. Terutama dalam memandang masalah-masalah berbau politis. Pejabat desa yang “itu-itu saja”, pembangunan jalan yang tidak pernah beres, kemajuan desa yang tampak nihil, dan berbagai masalah lain diam-diam menggelitik hati mereka. Dan siapa sangka, Malik tiba-tiba mengungkapkan keinginannya menjadi kepala desa pada sahabatnya, Yudho. Yudho terkejut, tapi tak urung dia pun sangat mendukung mimpi teman terbaiknya itu.
Tapi apa boleh buat. Manusia memang memiliki hak penuh untuk merangkai mimpi-mimpi kehidupannya. Tapi di atas segalanya, ada Allah yang Maha berhak untuk menyeleksi mana saja impian yang layak mendapat ACC-Nya, dan mana yang tidak. Termasuk Malik. Di tengah mimpi mulianya menjadi pemimpin desa yang jauh lebih amanah, Izrail justru mendekapnya melalui sebuah kecelakaan (tak) disengaja.

Dan Yudho serta Bapak-Ibu Malik, hanya bisa tertunduk sedih, berusaha melapangkan hati menerima suratan yang amat menyesakkan dada itu. Tapi hidup harus tetap berjalan. Sesakit apapun, Bapak-Ibu Malik serta Yudho yang dengan setia menemani mereka melewati masa sedih harus kembali bangkit. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Ketika semuaanya sudah mulai kembali berjalan normal tanpa kehadiran Malik, tiba-tiba Yudho dihampiri kesempatan untuk melanjutkan mimpi sahabatnya yang terhalang oleh ajal. Oleh para sesepuh kampong, ia di percaya untuk “nyalon” kepala desa. terkejut? Tentu saja! Yudho tak lebih dari seorang pemuda anak orang tak punya, hingga keinginan kuliah pun terpaksa ia lipat dibawah bantalnya. Dan kini tiba-tiba ia ditawari untuk menjadi kandidat orang nomor satu di Desa Randu Asri, tanah tumpah darahnya? Bahkan mereka para sesepuh kampong tak hanya bersedia menyokong spirit, tapi juga materi.

Ya, bukankah sudah jadi rahasia umum kalau “nyalon” kepala desa itu membutuhkan modal besar?! Dan darisinilah konflik utama novel ini muncul. Berbagai intrik licik, dan “kesibukan” dalam rangka  usaha memenangkan diri di paparkan dengan sederhana namun mengena. Namun bagaimanapun, kebenaran memang selalu menemukan jalannya sendiri untuk muncul di permukaan. Begitu pun dengan ending novel ini.

Yah, hanya itu yang bisa saya ceritakan. Pengen lengkap? Baca sendiri tentunya J
Novel ini sangat cocok untuk orang-orang yang suka “to the point”, nggak berbelit-belit, dan nggak banyak deskripsi yang nggak perlu. Singkat, padat dan jelas. Meski di sisi lain, jadi seperti ada kesan “tergesa-gesa” dalam pengerjaannya. Tapi saya tau itu sama sekali nggak benar. Sedikit banyak saya tau perjuangan Mbak Ella menuntun novel ini hingga ada di toko buku. Perjuangan yang selalu bikin saya malu, sekaligus termotivasi. Yang jelas, buku ini bikin saya termangu dan merenung, betapa kecurangan-kecurangan dalam dunia politik masih sangat berakar bahkan di ranah politik paling bawah.

Lalu mana kritiknya? Ya, rasanya saya terlampau tidak objektif kalau nggak mau memberikan kritik. Meski saya mulai belajar keras mengurangi “kenyinyiran” saya dalam mengkritik novel. Duhh, saya ini siapa sih… nyoba nulis novel aja belum pernah kelar, sudah sok-sok-an ngritik karya orang. Baiklah, saya punya dua catatan utama untuk novel ini. Pertama di bagian kisah cintanya, kisah cinta Hesti dan Malik yang terasa “kurang mengena” dan jadi terkesan hanya pelengkap. Kedua, tentang kejadian yang dijadikan sebuah titik balik bagi kehidupan Malik, yang juga kurang terasa mengena. Jadi waktu saya baca, saya jadi punya kesan “kok gampang banget ya tobatnya, hanya karna peristiwa seperti itu?!”

Yah, tapi di atas itu semua, saat pertama kali tau bahwa “Temui Aku di Surga” di ACC sama penerbit, saya seperti bisa membayangkan dengan jelas perasaan bahagia saat novel saya sendiri yang di ACC.

**Bahagiaku untukmu juga Mbak Ella… terima kasih untuk banyak sekali tauladan, inspirasi juga motivasinya. Eh, juga untuk pinjeman-pinjeman bukunya selama  ini. Maaf yaa kalo (bukan) review “Temui Aku di Surga”-nya Cuma kaya’ gini, dan ada yang kurang berkenan J

7 September

on
Senin, 09 September 2013

7 september...
 Hari dimana rinduku berlipat ganda, lalu membumbung ke angkasa setelah sebelumnya aku transformasikan menjadi untaian doa... Semoga kebaikan selalu untuknya...

Aku takkan lagi bertanya, "Kapan kita bertemu?". Asalkan kebahagian selimutmu, dan damai mahkotamu, cukup bagiku. Pun seperti pada Mami dan Andri... aku hanya selalu merasa butuh tau kabar kalian, meski hanya sesekali.

#Late post

Kata Mereka

on
Rabu, 04 September 2013
Saat masih berstatus mahasiswi, di suatu siang, saya pernah ngobrol-ngobrol dengan teman SMP yang kebetulan satu kampus. Kami ngobrol santai, dengan tema loncat-loncat. Bertukar info kabar teman-teman lama, soal kuliah, hingga sampai pada satu tema yang membuat saya terkenang obrolan kami siang itu hingga sekarang.

"Kamu ikut An-Nisa' ya, Sa?" tanyanya dengan agak ragu pada saya, menyebutkan nama organisasi rohis khusus cewek di kampus saya. Entah kenapa saya langsung bisa menenbak arah pembicaraan dia selanjutnya. Sebelumnya saya juga sangat menyadari bahwa sejak tadi dia sering mencuri pandang ke arah jilbab saya yang saat itu saya doble karna tipis, menatap dengan pandangan... emm, seperti pandangan miris menurut saya. Wallahu a'lam.

"Iya, emang kenapa?" jawab saya, sembari memberi pertanyaan balik.

"Ya, nggak papa... cuma pesenku, ati-ati aja... organisasi boleh, tapi jangan terlalu ekstrim. Yang biasa-biasa aja!"

Oke, saya semakin tercengang dan mengerutkan kening. "Emang kenapa sih, kok gitu ngomongnya?"

"Soalnya denger-denger An-Nisa' itu isinya orang-orang ekstrim... ya, takutnya aliran sesat!"

Astaghfirullah... saya seketika beristighfar dalam hati. Tapi saya berusaha santai menanggapi.

Lalu, petang kemarin di parkiran motor tempat kerja, saya bertemu dengan seorang teman kerja. Tiba-tiba saja dia bertanya, "Dulu pas di Semarang kamu pakaiannya yang rok buesar-buesar itu, ya?" Saya agak bingung, lalu menggelang, "Nggak kok, emang kenapa?"

"Nggak sih, cuma nanya. Soalnya temenku ada yang gitu, ikut aliran sesat di Semarang, sekarang jilbabnya buesar gitu!" ceritanya.

Saya semakin tercengang. Ya Allah... semudah itukah melabeli sesorang sesat? batinku dalam hati. Saya memilih untuk menanggapinya hanya dengan seulas senyum simpul.

"Eh, tapi kamu emang hobi pakai rok dari dulu, ya? Kenapa sih suka pakai rok?" tanyanya lagi.

"Iya, emm... nggak tau ya, lebih nyaman aja, ngrasa lebih terjaga" jawabku, sembari bergegas menghidupkan motor lalu memacunya. Pikiranku masih tertinggal di parkiran motor tadi, masih tertuju pada obrolan singkat barusan, lalu terngiang kembali obrolan dengan teman SMP di atas. Hmm... padahal sore kemarin, pakaian saya sungguh masih jauh dari kata syar'i :(
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di jaman dimana kebenaran dan ketidakbenaran semakin sulit dibedakan, semakin buram, bahkan sering di bolak-balik sendiri oleh liarnya logika manusia, hal apalagi yang lebih berharga dan kita harapkan selain perlindungan Allah? Ya, semoga Allah yang Maha Mengetahui yang Haq dan yang bathil senantiasa menjaga langkah kita selalu dalam kebenaran, dan membersamakan kita dengan orang-orang yang juga selalu dalam kebenaran. Aamiin.

 FI, 04 September 2013
**obrolan sebenarnya dg bahasa jawa

Signature

Signature