Setelah beberapa
lama nggak nulis, membiarkan mimpi-mimpi kembali stagnan dan blog terbengkalai,
mala mini bertekad untuk kembali menggerakkan jari jemari. Meskipun sekedar
torehan yang tak bisa dikata indah, namun semoga tetap ada manfaatnya, setitik
pun tak apa.
Karna untuk
nulis fiksi merasa sedang nggak mungkin, maka saya putuskan untuk menulis
sesuatu yang sebenarnya pernah saya janjikan pada seseorang. Bukan, saya bukan
lupa. Saya masih ingat pernah berjanji pada Mbak Ella Sofa untuk me-review novel
beliau yang berjudul “Temui Aku di Surga”. Tapi jujur saja saya nggak pede.
Kenapa nggak pede? Banyak! Tapi yang utama,karna saya belum pernah sekalipun me-review novel.
Selama ini saya murni hanya seorang penikmat. Lalu misalpun diminta bercerita
tentang isi novel yang say abaca, saya akan menceritakannya tanpa alur, loncat
sana loncat sini sesuka hati saya.
Tapi janji
tetaplah janji. Saya akan tetap berusaha me-review “Temui Aku di Surga” dengan
gaya saya sendiri. Bagi teman-teman yang sudah terbiasa me-review atau membaca
review sebuah novel, pastilah akan berkata bahwa ini (bukan) review “Temui Aku
di Surga”.
Oke, langsung
saja. Novel “Temui Aku di Surga” bercerita tentang dua orang pemuda bernama
Yudho dan Malik yang bersahabat baik. Lewat persahabatan, mereka berdua
membangun mimpi-mimpi masa depan. Mereka memulai langkah menjemput mimpi
tersebut dengan bekerja sama mendirikan sebuah kios kaca. Malik punya modal,
dan Yudho punya keahlian.
Seperti
kebanyakan anak muda, Yudho dan Malik juga punya sisi idealisme. Terutama dalam
memandang masalah-masalah berbau politis. Pejabat desa yang “itu-itu saja”,
pembangunan jalan yang tidak pernah beres, kemajuan desa yang tampak nihil, dan
berbagai masalah lain diam-diam menggelitik hati mereka. Dan siapa sangka,
Malik tiba-tiba mengungkapkan keinginannya menjadi kepala desa pada sahabatnya,
Yudho. Yudho terkejut, tapi tak urung dia pun sangat mendukung mimpi teman
terbaiknya itu.
Tapi apa boleh
buat. Manusia memang memiliki hak penuh untuk merangkai mimpi-mimpi
kehidupannya. Tapi di atas segalanya, ada Allah yang Maha berhak untuk
menyeleksi mana saja impian yang layak mendapat ACC-Nya, dan mana yang tidak.
Termasuk Malik. Di tengah mimpi mulianya menjadi pemimpin desa yang jauh lebih
amanah, Izrail justru mendekapnya melalui sebuah kecelakaan (tak) disengaja.
Dan Yudho serta
Bapak-Ibu Malik, hanya bisa tertunduk sedih, berusaha melapangkan hati menerima
suratan yang amat menyesakkan dada itu. Tapi hidup harus tetap berjalan.
Sesakit apapun, Bapak-Ibu Malik serta Yudho yang dengan setia menemani mereka
melewati masa sedih harus kembali bangkit. Hari berganti minggu, minggu
berganti bulan. Ketika semuaanya sudah mulai kembali berjalan normal tanpa
kehadiran Malik, tiba-tiba Yudho dihampiri kesempatan untuk melanjutkan mimpi
sahabatnya yang terhalang oleh ajal. Oleh para sesepuh kampong, ia di percaya
untuk “nyalon” kepala desa. terkejut? Tentu saja! Yudho tak lebih dari seorang
pemuda anak orang tak punya, hingga keinginan kuliah pun terpaksa ia lipat
dibawah bantalnya. Dan kini tiba-tiba ia ditawari untuk menjadi kandidat orang
nomor satu di Desa Randu Asri, tanah tumpah darahnya? Bahkan mereka para
sesepuh kampong tak hanya bersedia menyokong spirit, tapi juga materi.
Ya, bukankah
sudah jadi rahasia umum kalau “nyalon” kepala desa itu membutuhkan modal
besar?! Dan darisinilah konflik utama novel ini muncul. Berbagai intrik licik,
dan “kesibukan” dalam rangka usaha
memenangkan diri di paparkan dengan sederhana namun mengena. Namun
bagaimanapun, kebenaran memang selalu menemukan jalannya sendiri untuk muncul
di permukaan. Begitu pun dengan ending novel ini.
Yah, hanya itu
yang bisa saya ceritakan. Pengen lengkap? Baca sendiri tentunya J
Novel ini sangat
cocok untuk orang-orang yang suka “to the point”, nggak berbelit-belit, dan
nggak banyak deskripsi yang nggak perlu. Singkat, padat dan jelas. Meski di
sisi lain, jadi seperti ada kesan “tergesa-gesa” dalam pengerjaannya. Tapi saya
tau itu sama sekali nggak benar. Sedikit banyak saya tau perjuangan Mbak Ella
menuntun novel ini hingga ada di toko buku. Perjuangan yang selalu bikin saya
malu, sekaligus termotivasi. Yang jelas, buku ini bikin saya termangu dan merenung, betapa kecurangan-kecurangan dalam dunia politik masih sangat berakar bahkan di ranah politik paling bawah.
Lalu mana
kritiknya? Ya, rasanya saya terlampau tidak objektif kalau nggak mau memberikan
kritik. Meski saya mulai belajar keras mengurangi “kenyinyiran” saya dalam
mengkritik novel. Duhh, saya ini siapa sih… nyoba nulis novel aja belum pernah
kelar, sudah sok-sok-an ngritik karya orang. Baiklah, saya punya dua catatan
utama untuk novel ini. Pertama di bagian kisah cintanya, kisah cinta Hesti dan
Malik yang terasa “kurang mengena” dan jadi terkesan hanya pelengkap. Kedua,
tentang kejadian yang dijadikan sebuah titik balik bagi kehidupan Malik, yang
juga kurang terasa mengena. Jadi waktu saya baca, saya jadi punya kesan “kok gampang banget ya tobatnya, hanya karna peristiwa
seperti itu?!”
Yah, tapi di
atas itu semua, saat pertama kali tau bahwa “Temui Aku di Surga” di ACC sama
penerbit, saya seperti bisa membayangkan dengan jelas perasaan bahagia saat
novel saya sendiri yang di ACC.
**Bahagiaku untukmu juga
Mbak Ella… terima kasih untuk banyak sekali tauladan, inspirasi juga
motivasinya. Eh, juga untuk pinjeman-pinjeman bukunya selama ini. Maaf yaa kalo (bukan) review “Temui Aku
di Surga”-nya Cuma kaya’ gini, dan ada yang kurang berkenan J