Beberapa hari lalu, tanpa ada sebab yang jelas, salah seorang teman melempar tanya yang intinya, apakah aku tipe orang yang suka pilih-pilih teman atau sebaliknya. Meski agak heran kenapa dia tiba-tiba tanya seperti itu, toh saya akhirnya menjawab. Seingat saya sih saya nggak pilih-pilih teman. Kalau sahabat, iya mungkin saya sedikit milih. Lalu, tak lupa bertanya apa gerangan yang membuat dia tiba-tiba bertanya seperti itu. Apakah lantaran dia melihat teman-teman saya terlihat banyak yang semrawut, atau bagaimana? Sayangnya, hingga detik ini saya belum mendapatkan jawaban darinya.
Saya sudah beberapa kali merenung soal ini. Dan jadi terpantik untuk merenungkan lagi gara-gara pertanyaan teman saya itu. Sebenarnya yang baik itu justru harus pilih-pilih teman atau nggak sih??? Bukankah ada hadist Nabi yang intinya, agama kita bernaung dibawah agama teman kita? Belum lagi perumpamaan berteman dengan tukang minyak dan pemandai besi itu? Bukankah hal itu mengisyaratkan bahwa Nabi kita menghimbau kita untuk "memilih teman"? Tapi bingungnya, sifat pilih-pilih teman seringkali membentuk image buruk dimata lingkungan atas diri kita. Yah, balik lagi akhirnya... batas antara yang benar dan yang 'kurang benar' semakin abu-abu.
diambil dr Tumblr
Akhir-akhir ini saya memang sedang resah soal pertemanan. Mungkin bisa dibilang saya masih dalam tahap masa transisi yang belum kunjung berakhir, dari atmosfer pertemanan berbau surga di kampus dulu, dengan atmosfer pertemanan yang berbau... hemm, entahlah...
Saya nggak bilang teman-teman saya di kampus dulu adalah orang-orang sempurna tanpa dosa. Sama sekali bukan. Kami tetaplah manusia biasa, dan tentu saja seringkali melakukan dosa. Tapi yang saya suka, saat salah satu dari kami salah, seringkali yang lain mengingatkan bahwa itu salah. Tidak jarang juga kami mengangkat tema-tema obrolan ringan yang bermanfaat bagi proses perbaikan diri kami. Meskipun sekali lagi, nggak jarang pula kami membicarakan hal-hal yang sia-sia.
Lalu bagaimana dengan saat ini? Di lingkungan kerja, jujur saya tak lagi mendapati hal tersebut. Saat ada yang melakukan salah dan ada yang berusaha mengingatkan, pastilah justru akan dijadikan bahan ledekan. Aktifitas tiap hari hampir tak lepas dari membicarakan orang lain, mengeluh, dll. Dan saat itulah saya mendapati betapa iman saya masih terlampau rapuh dan mudah sekali terbawa arus negatif yang mengitari saya. Ya, betapa berat bagi saya menjaga kestabilan iman tanpa ada teman yang sejalan di dekat saya. Disaat seperti inilah mendidik diri sendiri amat terasa urgensinya. Teringat pula nasehat seorang mbak di kampus dulu, "Boleh membaur, tapi jangan melebur". Dan itu beraaaattt sekali T.T
Jadi bagaimana? Harusnya kita itu pilih-pilih teman atau jangan? Saya masih tetap bimbang. Tapi kalau saya memposisikan diri sebagai (calon) ibu, rasanya kelak saya pun tak ingin anak saya berteman dengan sembarang orang. Sudah berapa puluh artikel dari para ahli yang mengatakan pengaruh lingkungan pergaulan itu punya pengaruh sangat besar?
Ya, karna teramat pentingnya teman yang membantu kita menjaga keimanan, maka saya tak pernah lupa berdoa, "Robbi Habli Minladunka zaujan thoyyiban wayakuna shohiban Lii Fiddini waddunya wal akhiroh. Ya Robb, Anugrahkanlah kepadaku seorang suami terbaik dari sisiMU, yang dapat menjadi sahabat (teman) bagi dunia serta akhiratku" *Lho, kok nyambungnya kesini? hihihi*
Rosa, 29 November 2013