Saya tertegun ketika membaca sebuah
paragraph tentang keajaiban cinta yang ditulis oleh Mbak Riawani Elyta dalam salah satu postingan terbaru di blog pribadinya.
"Ada
banyak kisah nyata tentang keajaiban cinta di sekeliling kita, tentang cinta
seorang suami pada istri yang mengalami kecacatan mental, tentang cinta seorang
pengemis yang sanggup menembus kobaran api demi menyelamatkan kucing-kucing
yang terperangkap di dalam gedung, tentang kasih sayang seekor hewan pada
majikannya yang sudah tiada hingga ia sanggup menziarahi makam majikannya
setiap hari, dan lain sebagainya”
Ingatan
saya seketika terbang pada kisah hidup
seseorang yang
tak henti membuat saya kagum, miris, sekaligus
merenung. Seseorang yang
amat dekat dengan saya, karna tempat tinggalnya tak jauh dari tempat tinggal saya. Kisah tentang kekuatan cinta serta ketabahannya dalam merawat cintanya tersebut, bahkan telah saya dengar sejak pertama kali otak remaja saya mampu memahami ‘rumpian’
orang-orang dewasa di sekitar
saya.
Sebut
saja ia Bu Hanifah*. Seorang Ibu rumah tangga
biasa yang mengabdikan hidup
sepenuhnya pada suami dan
anak-anaknya,
sembari berdagang sembako kecil-kecilan di rumah. Pengabdian yang membuatnya tetap tegar meski suaminya tidak sekali-dua kali ketahuan selingkuh bahkan
sampai menikah lagi secara diam-diam.
Ya,
sudah menjadi rahasia umum di lingkungan tempat tinggal saya bahwa suami Bu Hanifah adalah
laki-laki “tukang
selingkuh”. Mulai dari selingkuh dengan tetangga sendiri yang hingga sampai pada tahap menikah siri dan menghasilkan
anak (lalu selang beberapa bulan diceraikan], sampai pada bermain perempuan yang tak jelas asal-usulnya. Tidak hanya itu, suami Bu Hanifah juga
punya perangai amat kasar. Meski setahu saya tidak sampai main tangan, tapi ia sering sekali terlihat membentak-bentak Bu Hanifah, meskipun di
depan orang banyak.
Tapi
apa lantas dengan begitu Bu Hanifah jadi sering
mengumbar aib suaminya
dengan curhat
sana curhat
sini, atau mengabaikan kewajibannya untuk menaati suami? Setahu saya sama sekali tidak. Dari cerita Mbak Ana* – orang dekat saya yang juga saudara Bu
Hanifah, Bu Hanifah tetap selalu berusaha menaati suaminya, termasuk selalu minta ijin jika hendak pergi
keluar rumah. Yang
lebih membuat
saya tercengang, beliau bahkan tetap mampu berbuat baik dan menunjukkan
kasih sayang pada anak hasil
selingkuh suaminya
dengan salah satu tetangga tadi.
Ah, jujur saja, melihat kisah hidup Bu Hanifah ini pernah membuat saya gregetan dan sempat berpikir bahwa perbedaan
antara tabah dan ‘bodoh’ menjadi tipis sekali disini. Saya tidak terima melihat Bu Hanifah terus menerus diam
membiarkan hatinya dirajam duri oleh
kelakuan suaminya.
Bu Hanifah wanita
biasa, bukan? Tidak
mungkin ia tidak
merasakan sakit atas semua yang dialaminya! Tapi pandangan saya itu
seketika berubah ketika saya kembali mendengar cerita dari Mbak Ana, yang ternyata juga pernah berpikiran
hampir sama dengan saya,
dan bahkan sempat
mengutarakannya langsung pada Bu
Hanifah.
“Saya
pakai perjuangan bawah tanah
saja. Kalau hari ini doa saya
belum terkabul, besok Insya Allah pasti terkabul. Lagipula seluruh
sakit hati saya jadi tidak lagi ada artinya ketika melihat anak-anak tumbuh dengan baik tanpa harus merasakan
kehilangan sosok bapak**,” begitu
jawab Bu Hanifah ketika Mbak
Ana bertanya mengapa Bu Hanifah tidak mengajukan
permohonan cerai saja.
Ah, betapa
ini murni tentang wanita dengan ketabahan luar biasa, bukan tentang ia bodoh dan tak tahu harus berbuat apa, juga tentang pengorbanan ibu demi
anak-anaknya. Dan tentu saja bagian ini tidak boleh lupa saya ceritakan. Mungkin Allah mengijabah
tiap rintih kesedihan Bu Hanifah
dengan menjadikan 4 anaknya
sebagai anak-anak membanggakan yang
sama sekali tidak
terlihat mewarisi perangai buruk
bapak mereka. Meskipun mereka bukan anak-anak dengan prestasi luar biasa, tapi mereka adalah
anak-anak yang
dikenal berakhlak baik di mata
kami – para tetangganya. Bahkan pada bapak yang tingkah lakunya sering membuat malu
pun, mereka tetap saja menunjukkan bakti dan hormatnya – persis seperti yang
dicontohkan ibu mereka.
Dulu saya mengira
kisah seperti ini hanya ada dalam cerita fiksi dalam novel-novel. Ternyata saya
salah. Kisah ini terpampang jelas di depan mata saya.
oOo
*Bukan nama sebenarnya
**Percakapan sebenarnya memakai Bahasa
Jawa
oOo
Tulisan ini diikutkan dalam event Kuis GA Novel A Miracle of Touch yang diadakan oleh Mbak Riawani Elyta. Ini pertama kalinya lhoo saya memberanikan diri ikut event Giveaway. sebelum-sebelumnya tiap mau ikut giveaway nggak tau kenapa selalu aja nggak pede. Motivasinya? tentu saja yang utama pengen dapet novel AMOT gratis. hehe
Saya memang selalu penasaran tiap Mbak Elyta menelurkan novel baru, tak terkecuali novel A miracle Of Touch ini. Dan alasan kenapa saya menginginkan novel ini, salah satunya adalah ini novel pemenang berbakat lomba Amore yang diadakan oleh GPU. Pastinya nggak sembarangan novel dong! Pesertanya pasti banyak banget, dan novel ini berhasil menjadi salah satu yang terbaik.
Semoga saja saya beruntung di pengalaman pertama ikut Giveaway ini, Aamiin :)
Berkunjung ke tulisan pemenang^^
BalasHapusSelamat ya, tulisan ini bagus, Pantas banget jadi pemenang GA dan dapet novelnya.
Belum tentu kalau kita ada di posisi bu Hanifah bisa setabah itu ya :')
Kirain kisah seperti ini hanya ada dalam sinteron :p
Saya tunggu kunjungan baliknya ke http://juwitazahar.blogspot.com ya.
Salam kenal :)
Terimakasih banyak Mbak Ita :)))
BalasHapusIya, saya pasti akan berkunjung balik :)