Dalam jangka waktu beberapa tahun yang lalu, saat saya masih bari akan
menginjak usia remaja, seingat saya ‘hamil di luar nikah’ menjadi hal yang amat
mengerikan di mata masyarakat. Dan di benak sederhana saya sebagai anak-anak,
hal seperti itu ‘hampir’ tidak akan saya temui di lingkungan sekitar saya – dan
hanya akan dilakukan atau terjadi pada orang-orang ‘kota’ seperti di sinetron-sinetron
itu. Ya, karna lingkungan tempat saya tumbuh adalah sebuah masyarakat desa yang
masih amat menjunjung tinggi norma – agama, pergaulan, maupun kesopanan.
Tapi
apa yang terjadi saat ini? Saya benar-benar bergidik ngeri. Semoga bukan karna saya merasa baik. Dimulai
dari berubahnya gaya berpakaian remaja-remaja di sekitar saya yang… ah, dulu
padahal saat saya SMP dan belum berjilbab, memakai rok biru selutut hampir
selalu menjadi ‘perhatian’ para tetangga. Lalu pergaulan remaja dan laki-laki
perempuan yang melonggar sedemikian rupa. Padahal seingat saya, dulu ketika saya
masih SMP dan SMA, lalu da teman laki-laki yang tiba-tiba datang ke rumah,
adalah hal yang membuat saya amat malu pada tetangga kanan-kiri, depan-belakang
rumah. Lalu perubahan-perubahan tersebut bermetamorfosis menjadi semakin ‘hebat’
lalu meledak menjadi fenomena yang, sungguh… harusnya kita menangis sedih atas
ini.
Beberapa
waktu lalu, kepala saya seperti dihantam godam ketika mendapat sebuah cerita yang
setting tempat, waktu dan tokohnya ada di dekat saya. Berawal dari cerita ibu,
bahwa anak salah satu tetangga sakit, dan diopname di puskesmas dekat rumah
kami. Sakit perut, katanya. Ba’da magrib waktu itu, Ibu mengajak saya menjenguk
ke puskesmas, tapi kami harus pulang tanpa hasil karna ternyata si tetangga
kami tersebut baru saja dirujuk ke Rumah Sakit Daerah. Sampai disini kami sama
sekali tidak berpikiran jelek sedikitpun, justru turut khawatir – sakit apa kok sampai dirujuk ke Rumah Sakit.
Keesokan harinya, Ibu menjenguk bersama rombongan Ibu-Ibu se-RT, tentu saja
saya tidak ikut, karna harus kerja. Dan betapa tercengangnya saya… ah, rasanya
tidak hanya tercengang – ketika mendapati cerita Ibu, bahwa ternyata eh
ternyata si ‘gadis’ anak tetangga saya itu KEGUGURAN! Innalillahi wa inna
ilaihi roji’un… bagaimana bisa? Bukankah kabar rencana pernikahannya masih
sekitar dua bulan lagi???!! Tapi begitulah kenyataannya!
Oke, tidak
cuma sampai disitu, karna ternyata itu hanya satu dari sekian banyak kisah
serupa. Teman saya di kantor pernah beberapa kali bercerita tentang
tetangga-tetangganya yang masih berumur sangat belia, menikah ‘mendadak’ karna
sudah ‘kecelakaan’. Bahkan katanya, kalau ada 10 orang menikah di daerahnya,
maka 7 diantaranya sudah dalam keadaan hamil. Mbak saya seorang perias
pengantin, dan tidak sekali-dua kali beliau merias penganti dengan perut yang
telah terisi jabang bayi. Yang lebih mengenaskan adalah cerita mbakku tentang
tanggapan orang-orang di sekitar si pengantin yang seperti menganggap wajar hal
tersebut.
“Ya
Allah, Mbak… pengantinnya sampun isi tah? (Ya
Allah, Mbak… pengantinnya sudah hamil, ya?)” tanya Mbak saya kepada salah
satu saudara si penganti seusai merias.
Yang ditanya
mengangguk ringan, “Halah, Mbak… ngono kui lakyo wis biasa to jaman saiki! (Ah, Mbak… seperti itu kan sudah ‘biasa’ di
jaman sekarang!)”
“Astaghfirullah…
ampun dianggep biasa, Mbak!! (Astaghfirullah, jangan dianggap biasa, Mbak!”
keluh Mbak saya, antara tercengang, kelu dan perih.
Ya,
mungkin kita luput menyadari bahwa sebagian besar masyarakat kita sudah mulai
memberikan ‘pemakluman’ yang terlalu longgar untuk maksiat. Harusnya kita mulai
merenung dan bertanya, adakah sikap kita turut membuat beberapa kemaksiatan
semakin menjamur? Dulu seingat saya, jika ada kejadian hamil di luar nikah,
makan sanksi social yang ditimpakan pada orang tersebut dan keluarganya amat
luar biasa. Bahkan orang tuanya pun akan ‘menghukum’ anaknya sedemikian rupa –
beda dengan saat ini yang bahkan orang tuanya pun seperti ‘mengikhlaskan’ dan
tetap bersuka-cita atas pernikahan ‘tak biasa’ putrinya. Sudah waktunya kita
mulai bertanya pada diri masing-masing, adakah ketakutan atas merebaknya
kemaksiatan telah berkurang jauh pada hati kita? Atau jangan-jangan kita bahkan
secara tidak langsung sudah tak lagi menganggap hal tersebut sebagai sebuah
maksiat? Naudzubillah…
Ketika
saya menulis ini, sungguh ada ketakutan luar biasa pada diri saya. Sungguh saya
tidak bermaksud mencibir, menghina atau merasa jauh lebih baik dari para pelaku
fenomena ‘hamil di luar nikah’ tersebut. Sungguh saya tidak sedikitpun merasa
jauh lebih pandai menjaga diri – karna hingga saat ini saya pun masih berada di
titik yang amat rawan dimana kekokohan penjagaan diri akan terus diuji. Saya memutuskan
untuk menulis ini semata untuk menyuarakan keprihatinan saya yang amat mendalam
– terlebih, kalau boleh agak ‘muluk’ saya berharap, siapa tahu ada yang
bersedia membaca lalu turut prihatin dan melakukan sesuatu.
Bukankah
ketika melihat kemaksiatan kita diperintahkan untuk mencegahnya dengan tangan
kita, atau jika tak mampu cukup dengan mulut kita, jika masih tak mampu maka
cukup dengan pengingkaran dalam hati kita – dan inilah bentuk selemah-lemah
iman. Maka, semoga tulisan ini mewakili pengingkaran hati saya, karna saat ini
tak ada yang mampu saya lakukan kecuali menyuarakannya lewat blog saya ini.
Terakhir,
ijinkan saya mengajak… yuk, sadari bahwa ZINA sama sekali bukan hal yang boleh
dianggan BIASA. Yuk, berikan sanksi social pada para pelaku – bukan bermaksud
merendahkan atau mencibir, tapi semata agar semoga bisa ‘sedikit’ membendung
semakin mewabahnya kemaksiatan ini. Dan yang lebih penting, yuk menguatkan
penjagaan diri, dengan disertai doa tak henti agar Allah bersedia membantu
menjaga kita.
**Allahu Robb… pada siapa lagi kami memohono pertolongan
jika bukan kepada-Mu, ditengah gempuran ancaman kemaksiatan yang semakin
menyesakkan dada ini. Allahu Robb… jagalah diri ini, sanak-saudara, sahabat,
teman, serta anak keturunanku kelak dari perbuatan hina seperti itu.
ih sereem ya... saya sadar di kalangan lingkungan tetangga saya juga gtu...
BalasHapusnaudzubillah....
Dengan mengambil pendapat jumhur ahli ilmu bahwa seorang anak hasil zina tidaklah dinasabkan kecuali kepada ibunya, dan ketika anak hasil zina tersebut kelak ingin menikah maka tidaklah bisa diwalikan oleh ayah yang berzina dengan ibunya, akan tetapi perwaliannya dilakukan oleh penguasa atau hakim. Karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
”Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud)
andai seharusnya mereka tahu... tapi kebayakan gak dipraktekan hukum Islamnya. disinilah ayat2 Allah harusnya terbaca. pada kenyataannya kalo tw bgtu pasti mereka malu sndiri kelak anaknya bagaimana.. naudzubillah...
Iya mbak, salah satu dampak paling fatal dari perzinahan kan rusaknya nasab kan... tapi ya itu, mulai banyak yg meremehkan. Naudzubillah, semoga kita selalu dalam lindungan Allah. Aamiin
Hapus