Sabtu pagi kemarin saya diminta Ibu untuk mengantarnya membeli beras ke desa sebelah. Tapi sayang kami haru kembali dengan tangan kosong, karna beras dengan kualitas yang diingankan Ibu nggak ada.
"Tinggal yang beras kawak (lama)" kata Ibu.
Kami sekeluarga memang lebih suka nasi yang cenderung lembek. Dan nasi yang lembek tidak akan bisa dihasilkan dari beras stock lama. Tapi kemarin 'nakal'ku kumat. Kalau sekarang Ibu belum dapet, berarti saya harus mengantar ulang beliau besoknya - dan saya (agak) malas. hehe
"Nggak papa-lah, Bu, sekali-sekali makan beras lama" rayuku, tentu saja penuh tendensi.
"Nggak ah! Buat apa? sudahlah nggak suka nasinya, lebih mahal pula!" sanggah ibuku.
Hah? Lebih mahal? Tak urung saya tergelitik mendengar pernyataan ibu tersebut, dan menjadikannya tema 'diskusi' dalm perjalanan pulang kami. Tentu saja saya heran saat mengetahui fakta bahwa beras lama harganya lebih mahal dari beras baru. Kok bisa? Secara secara rasa dan kualitas tentu saja beras baru lebih unggul. Rasanya nggak cuma pada beras hukum ini berlaku.
Ternyata eh ternyata, menurut Ibu hal itu terjadi karna tingkat permintaan beras lama di daerah kami jauh lebih tinggi dibanding beras baru. Kok bisa (lagi)?? Menurut Ibu lagi, karna beras lama saat dimasak akan menghasilkan nasi dengan volume lebih banyak (lebih mekar kalo bahasa Ibu saya) dibanding beras baru, dan hal itu menjadi alasan sebagian ibu-ibu yang memiliki anggota keluarga cukup banyak disekitar kami lebih memilih beras lama. Jadi singkatnya, rasa jadi nomor dua, yang utama adalah jumlah nasi yang jadi lebih banyak - dan otomatis akan lebih irit beras.
Wow! Ini memang hal sederhana, tapi entah mengapa saya kagum. Kagum pada ibu-ibu disekitar saya yang begitu lihainya mengatur keuangan keluarga agar berjalan se-efektif dan se-efisien mungkin. Dan satu lagi bukti bahwa wanita memiliki 'keistimewaan' luar biasa yang seringkali tidak disadari. Kira-kira apa laki-laki akan sampai berpikir sedetail itu? Saya rasa tidak :)
"Tinggal yang beras kawak (lama)" kata Ibu.
Kami sekeluarga memang lebih suka nasi yang cenderung lembek. Dan nasi yang lembek tidak akan bisa dihasilkan dari beras stock lama. Tapi kemarin 'nakal'ku kumat. Kalau sekarang Ibu belum dapet, berarti saya harus mengantar ulang beliau besoknya - dan saya (agak) malas. hehe
"Nggak papa-lah, Bu, sekali-sekali makan beras lama" rayuku, tentu saja penuh tendensi.
"Nggak ah! Buat apa? sudahlah nggak suka nasinya, lebih mahal pula!" sanggah ibuku.
Hah? Lebih mahal? Tak urung saya tergelitik mendengar pernyataan ibu tersebut, dan menjadikannya tema 'diskusi' dalm perjalanan pulang kami. Tentu saja saya heran saat mengetahui fakta bahwa beras lama harganya lebih mahal dari beras baru. Kok bisa? Secara secara rasa dan kualitas tentu saja beras baru lebih unggul. Rasanya nggak cuma pada beras hukum ini berlaku.
Ternyata eh ternyata, menurut Ibu hal itu terjadi karna tingkat permintaan beras lama di daerah kami jauh lebih tinggi dibanding beras baru. Kok bisa (lagi)?? Menurut Ibu lagi, karna beras lama saat dimasak akan menghasilkan nasi dengan volume lebih banyak (lebih mekar kalo bahasa Ibu saya) dibanding beras baru, dan hal itu menjadi alasan sebagian ibu-ibu yang memiliki anggota keluarga cukup banyak disekitar kami lebih memilih beras lama. Jadi singkatnya, rasa jadi nomor dua, yang utama adalah jumlah nasi yang jadi lebih banyak - dan otomatis akan lebih irit beras.
Wow! Ini memang hal sederhana, tapi entah mengapa saya kagum. Kagum pada ibu-ibu disekitar saya yang begitu lihainya mengatur keuangan keluarga agar berjalan se-efektif dan se-efisien mungkin. Dan satu lagi bukti bahwa wanita memiliki 'keistimewaan' luar biasa yang seringkali tidak disadari. Kira-kira apa laki-laki akan sampai berpikir sedetail itu? Saya rasa tidak :)
Waduuhh aku jarang masak :D juga nggak bisa bedain beras lama atau beras baru. Sama aja bentuknya :D
BalasHapuskalo udah mateng sih saya bisa Mbak bedain, kalo mentah nggak bisa :D
BalasHapus