Saya akan mengawali tulisan saya kali ini dengan sepenggal
‘kisah hidup’ kakak saya.
Kakak laki-laki saya – sebut saja Mas Acunx, dan kakak ipar
saya – Mbak Lily, tadinya bekerja dalam satu kantor – di Purworejo. Garis
takdir akhirnya mengatakan bahwa mereka berjodoh, lalu menikah dengan tenggat
waktu yang tidak begitu lama dari saat pertama kali kenal. Tapi seperti kebanyakan
lembaga lain, kebijakan kantor mengatakan mereka harus ‘dipisah’ jika menikah
dengan teman satu kantor. Maka, Mas Acunx akhirnya dipindah ke cabang lain yang
ada di Purwokerto – tepat saat Mbak Lily tengah hamil tua.
Ehm, mari saya sederhanakan. Jadi, Mas Acunx asli Jepara.
Mbak Lily asli Pati. Mereka bertemu di Purworejo, lalu menikah. Setelah menikah
Mas Acunx dipindah ke Purwokerto. Jadilah Mbak Lily harus hidup ‘sebatang kara’
di Purworejo. Jauh dari suami, pun dari keluarga. Sementara Mas Acunx pulang
seminggu sekali ke Purworejo. See? Sampai
sini saja rasanya saya sesak jika membayangkan.
Kini mereka telah dikaruniai seorang jagoan kecil berumur 18
bulan bernama Danish Maula Arfian. Dan situasi kadang menjadi cukup pelik rasanya
bagi Mbak Lily. Jika sewaktu-waktu Danish kurang sehat atau rewel, belum lagi
saat badan sendiri rasanya kurang fit, tentu kehadiran suami secara fisik amat
dibutuhkan. Apalagi, belum lama ini asisten rumah tangga yang biasa ‘momong’
Danish berhenti mendadak karna sakit cukup serius.
Ah, kalau Mbak Lily ditanya, jika boleh memilih tentu saja
mungkin ia akan memilih memiliki keluarga ‘ideal’. Tinggal satu atap dengan
suami, dekat dengan keluarga, bisa mengasuh Danish sendiri sepenuhnya, dll. Tapi
apa? Inilah hidup. Sayangnya kita tengah hidup dalam realita yang seringkali tak
selalu sesuai dengan apa yang kita rancang, angan-angankan, serta impikan.
Hidup selalu punya misterinya sendiri. Kita juga tidak tengah hidup dalam cerita
novel yang jika saat ini kita tengah sampai pada bagian yang amat menyesakkan,
maka beberapa lembar berikutnya kita pasti sampai pada bagian yang amat melegakan.
Tidak. Realita seringkali mempertemukan kita dengan serangkaian hal-hal menyesakkan
yang silih berganti, bahkan terkadang saling tumpang tindih.
Tapi beruntungnya, kita diberi dua senjata yang akan bisa
membuat dada kita tetap lapang ditengah situasi semenyesakkan apapun. Apalagi
kalau bukan sabar dan syukur. Dua kata yang sederhana sekali dikatakan, namun
pelik sekali untuk diaplikasikan.
Ya, dari keluarga kakak saya, saya belajar banyak. Bahwa
hidup saya esok – yang sudah saya rancang dengan begitu manisnya, tentu saja
sangat mungkin untuk tak berjalan sama persis seperti itu. Punya suami sholih,
kaya raya, pengertian, anak-anak yang sehat, pintar dan berbakti, dll… siapa
yang tidak mau?
Tapi apa hal tersebut tidak mungkin? Tentu saja mungkin! Apa
yang tidak mungkin jika Allah menghendaki hal tersebut terjadi? Saya pun
mengenal orang yang kehidupannya tampak mat sempurna di mata kebanyakan
manusia. Iri? Sebagai manusia manusiawi rasa itu terkadang ada. Tapi lantas
apa? Iri toh tidak serta merta membuat hidup kita menjelma menjadi seperti yang
kita inginkan. Oh ya, tapi iri tak selalu negative bukan? Boleh iri, tapi
transformasikan menjadi iri positif yang memacu kita untuk memperbaiki
ikhtiar-ikhtiar kita.
Jadi, saya akan tetap bermimpi, berdoa, lalu meyakini
sepenuh hati – karna saya percaya bahwa Tuhan saya sesuai dengan yang saya
sangkakan. Tapi saya juga tidak boleh lupa, bahwa tetap ada Dzat yang Maha
Menentukan segala sesuatunya. Bukankah apa yang kita kira baik, belum tentu
benar-benar baik untuk kita? Dan bukankah kita tidak bisa dikatakan beriman
jika kita belum diuji?
Ya, karna iman setengahnya adalah sabar, setengahnya lagi
adalah syukur. Bersabar saat kondisi jauh dari yang diangankan, lalu bersyukur
atas apapun yang ada di hadapan. Maka, semoga dada kita akan menjadi lapang.
Aamiin
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)