Beberapa
hari setelah anak dari salah satu sepupu saya lahir, saya menanyakan kabarnya
pada Ayahnya – si sepupu saya itu – karna belum sempat menengok langsung lagi.
“Gimana Dedek bayi? Udah mulai ngASI,
kan?”
“Nggak Mbak, nggak mau si dedeknya.
Lagipula airnya dikit banget!”, jawab
sepupu saya. Oh ya, dia memang adik sepupu saya, tapi usianya jauh lebih tua
dari saya.
Saya
tertegun mendengar jawabannya. Terlebih ketika di melanjutkan dengan cerita
bahwa si Dedek diberi SuFor. Oke, mungkin saya akan terkesan sok tua sekali
bicara soal ini. dengan status saya yang masih single, tahu apa saya soal ASI,
merawat bayi, dll? Mungkin akan ada yang berpikir seperti itu – terutama
orang-orang di sekitar saya. Tapi saya nggak peduli. Saya ingin tetap
mengungkapkan apa yang ada di kepala saya, di sini.
Jujur
seperti ada rasa sedih mendengar jawaban sepupu saya tadi. Tidak perlu saya
paparkan detail, pasti sudah banyak sekali yang tahu – bahkan jauh lebih tahu
dari saya – soal keutamaan ASI bagi anak dibanding Sufor. Ah, jelas sekali soal
ini. mana ada ciptaan manusia yang mampu menandingi ciptaan Sang Pencipta
Manusia?!
Semakin
sedih saat mengingat bahwa istri dari sepupu saya itu sepenuhnya di rumah –
alias nggak kerja di luar rumah. Ya
Allah… beberapa kali saya mendengar cerita dan membaca kisah para ibu yang
mati-matian tetap berusaha memberikan ASI eksklusif di tengah kesibukan mereka
yang luar biasa di luar rumah. Juga kakak ipar saya sendiri yang amat pilu
ketika akhirnya ia tidak berhasil melakukan hal tersebut karna manajemen waktu
pemerahan ASI yang gagal ia kelola. Lalu ini? Dia ada di rumah dan ‘ikhlas’
melihat anaknya terlelap karna jasa dot?!
Kalau
sepupu saya bilang si Dedek bayi nggak mau menyusu ibunya, dan ASI si Ibu nggak
sedikit sekali, bukankah hal tersebut bisa dicari sebab dan jalan keluarnya?? Si
Dedek nggak mau mungkin karna posisi menyusuinya yang masih kurang tepat. Dan bukankah
produksi ASI bisa meningkat seiring semakin seringnya ASI dikenyot oleh si
bayi?! Bagaimana mungkin ASI bisa keluar banyak jika si bayi tidak berusaha dirangsang
untuk terus mengenyot. Kurang lebih seperti itu yang saya tahu. Revisi saya
jika ada yang salah.
Ah
ya, ada satu hal lagi yang hendak saya ceritakan. Jadi, sepupu ipar saya
melahirkan sekitar jam delapan malam, di rumah Bidan desa – tidak jauh dari
rumah saya. Paginya, sekitar jam delapan lebih saya sempat menengok mereka –
ibu dan bayinya – yang ternyata belum dibawa pulang. Seperti biasa, saya selalu
excited tiap lihat
bayi – tidak bisa menahan hasrat untuk menggendong dan menciumnya walau
sebentar. Dan eh… betapa saya heran dan kaget saat si ibunya tiba-tiba
bercerita bahwa dirinya malah belum sama sekali menggendong, ah, sekedar
mendekap dan menciumnya pun belum katanya – sejak semalam setelah si bayi lahir.
Bilang saya berlebihan. Tapi sungguh saya kaget. Eh, heran. Bagaimana bisa?
Dalam benak saya, saat seorang wanita melahirkan, bahkan itu anak pertama,
hatinya pasti sudah disesaki rasa rindu ingin segera mendekap dan mencium buah
hatinya secara langsung. Tapi ini? Entahlah.
Kalau
saya boleh jujur – dan lagi-lagi sok tahu – saya memang seperti tidak melihat
binar kebahagiaan yang luar biasa dari sorot matanya. Seperti… emmm, biasa
saja, datar. Apa karna dia masih ‘terlalu’ muda untuk jadi ibu? Ah ya, saya lupa
bilang kalau usia sepupu ipar saya itu jauh lebih muda dari saya.
Dari
beberapa potongan cerita di atas, menurut saya salah satu penyebabnya adalah
kurangnya ilmu. Ya, sungguh cerita tentang sepupu saya ini hanya satu dari
sekian banyak cerita serupa di sekitar saya. Dan saya prihatin sekali melihat
amat rendahnya kemauan belajar seorang calon ibu di sekitar saya. Nggak cuma
soal ASI, MPASI, dll seputar perawatan saat buah hati masih bayi, tapi lebih
jauh lagi – soal cara mendidik, membentuk karakter, dll.
Dan
hal tersebut, menurut ke-soktauan saya ini membuat banyak sekali wanita yang
menjadi ibu tanpa dibarengi kesiapan mental sebagai seorang ibu yang perannya
vital sekali bagi anak. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Lahirnya generasi
fotocopy! Fotocopy dari generasi-generasi sebelumnya, yang cenderung tidak
mengalami banyak perbaikan. Yaiyalah, kan mereka di didik dengan system yang
sudah turun-menurun – yang juga diterima bapak-ibunya dulu.
Ya,
begitulah ocehan sok tahu saya kali ini. saya sangat paham mengubah paradigma
tentang dua paragraph terakhir di atas tidak mudah – sangat tidak mudah bahkan.
Ini menyangkut banyak sekali hal. Tapi apa boleh buat, saya belum bisa berbuat apa-apa. Jadi, saya
nulis saja di blog ini, semoga ada manfaatnya – sekecil apapun itu. Aamiin.
Saya juga waktu melahirkan ga langsung banyak ASI nya cuma karena keinginan kuat ingin menyusui langsung biar dikit tetap saya susukan atau pake sendok dulu sampe ASInya akhirnya keluar banyak..
BalasHapusNaaah, intinya ada pd kemauan kan ya mbak? ;)
HapusMenjadi ibu ternyata juga harus banyak belajar, karena susahnya melebihi yg ngantor :D
BalasHapusKatanya si gitu mbak.. Saya baru ngrasain ngantornya doang si soalnya, jd blum punya perbandingan :D
HapusYang kita lihat belum tentu seperti yang kita pikirkan mbak :)
BalasHapusPasti ada alasan yang mungkin kita ga tau..
Memang mbak, jadi ibu harus banyak belajar dulu ya..
@Mak Arifah... Iya ya Mak, mungkin saya terlalu under estimate >.<
BalasHapus