Kemarin, untuk pertama kalinya saya nyetir sepeda motor sampe Pati. So? Bagi saya ini Amazing. Bagaimana tidak? sepertinya baru kemarin saya nggak lebih dari seorang anak yang masih enggan menyadari bahwa dirinya mulai dewasa. Saya nggak lebih dari seorang gadis yang masih hobi menggantungkan segala sesuatu pada orang-orang sekitar. Jangankan sampe Pati dengan jarak tempuh kurang lebih dua jam, melewati jalur Pantura yang saingannya container dan truck besar-besar, ke fotocopy-an yang jaraknya nggak lebih dari seratus meter aja dulu saya lebih mlih di anter.
Kenapa bisa gitu, sih? Apa karna saya anak bungsu? Bisa jadi. Kalo anak bungsu diidentikkan dengan manja, dan manja diartikan dengan apapun yang dipengenin harus selalu dikabulkan, maka saya sama sekali nggak termasuk di dalamnya. Kalopun ada yang bilang saya manja, maka manja disitu sepertinya lebih sering diartikan sebagai ‘selalu pengen ada di zona nyaman’. Gimana saya nggak berada di zona nyaman, sedangkan hidup saya selalu dikelilingi sama orang-orang yang amat loyal. Bapak-Ibu yang… ah, nggak perlu dijabarkan. 2 kakak yang… bagi saya terbaik di dunia, lalu pertemuan-pertemuan dengan orang-orang tulus yang kemudian mengakui saya sebagai sahabatnya. Mereka bikin saya selalu merasa ada di zona nyaman.
Tapi toh saya akhirnya menyadari, terlalu lama ada di zona nyaman nggak selamanya baik. Harus diakui mungkin salah satu efek buruknya adalah saya bisa dibilang ‘agak’ terlambat menyadari tugas dan tanggung jawab sebagai manusia dewasa, serta kesiapan untuk menghadapi hitam-putihnya dunia. Mungkin nggak perlu saya ceritakan detail, karna akan lebih mirip sebagai ajang buka aib :D
Iya, mau nggak mau saya akhirnya menyadari bahwa nggak bisa selamanya merasa aman di zona nyaman. Ketika keadaan perlahan mulai berubah: kakak perempuan nikah, disusul kakak laki-laki yang diterima kerja dan ditugaskan di luar kota, kemudian lulus SMA dan harus pisah sama 3 sahabat yang luaaarrr biasa baiknya dan manjain saya banget, lalu saya yang harus hidup di kost – satu atap dengan orang-orang baru dengan berbagai karakter, dll. Ya, meskipun ‘mungkin’ terlambat, akhirnya saya menyadari semuanya nggak sama lagi. Saya nggak bisa terus-terusan berharap ada banyak kaki yang akan membantu ‘menopang’ saya. Saya akhirnya ngerti bahwa akan ada saat di mana bener-bener nggak ada orang yang bisa diandalkan, dan saya harus berdiri diatas dua kaki saya sendiri.
Tentu saja melewati setiap proses tersebut nggak se-enteng menuliskannya seperti di atas itu. Saya dikepung resah, sedih dan cemburu saat dua kakak nikah. Saya berbulan-bulan menangisi perpisahan dengan 3 sahabat SMA. Dan masih banyak lagi. Growth is painful – tumbuh itu menyakitkan, begitu kata banyak orang. Seperti seorang anak yang harus merasakan sakit ketika hendak tumbuh gigi, atau berkali-kali jatuh untuk bisa jalan, kita pun begitu. Tumbuh menjadi dewasa juga seringkali diwarnai banyak sekali hal yang terasa menyakitkan. Saya yakin di luar sana banyak sekali yang fase tumbuhnya ditandai dengan kejadian menyakitkan yang berpuluhkali lebih menyakitkan dari yang saya alami.
Yah, bagaimanapun… dunia ini berputar, hidup ini penuh perubahan. Maka, kalo nggak pengen tergilas habis oleh perputaran dan perubahannya, kita juga harus bergerak, tumbuh. Begitu, kan? Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.
**Saya pengen banget bilang ke Mas saya – orang yang sepertinya masih sering ‘lupa’ bahwa saya sudah ‘tumbuh’, “Hei, Mas… lihatlah… aku bukan lagi adik kecilmu yang bisanya cuma bergantung, meskipun bukan berarti aku nggak akan lagi butuh kamu”. Ah, adakalanya saya kangen kemana-mana di antar-jemput sama dia, kangen menyusuri jalan Jepara-Kudus di petang hari :)**
"there is no growth in comfort zone, and there is no comfort in growth zone"
BalasHapusbe strong, dear ;)
Iya, Mbak... Insya Allah:')
Hapus