Haha... akhirnya saya nulis soal ini juga, setelah lamaaa sekali cuma muter-muter di benak. Tema ini sebenarnya 'lagu lama' yang sudah banyaaakk banget dibahas orang, ya. Dan seperti halnya pertentangan tentang ASI vs Sufor yang nggak akan pernah selesai, tema ini juga rasanya nggak akan lekang oleh jaman. Yah, seperti kata Mbak Syam, semaju apapun dunia, hidup akan tetap berjalan klasik.
Dulu, jaman kuliah, sekaligus jaman awal-awal saya mulai belajar soal pernikahan dalam Islam, rumah tangga, kewajiban istri, dll saya masih naif. Dengan serta merta memancang niat dan angan bahwa kelak saya akan jadi Istri sekaligus Ibu yang full di rumah aja. Ngurus rumah, ngurus anak, ngurus suami -- karna itulah kewajiban utama seorang wanita yang sudah menikah. Saya naif memandang wanita yang bekerja akan mengorbankan banyak hal dalam rumah tangganya, terutama soal anak.
Tapi sekarang? Sepertinya saya mulai bisa memandang segala sesuatunya lebih proporsional. Dunia ini nggak cuma terdiri dari hitam-putih. Kita nggak bisa bilang ibu yang di rumah itu pasti lebih baik dan ibu yang bekerja itu pasti kacau urusan domestiknya. Saya sama sekali bukan mau mendebat kewajiban seorang wanita yang telah digariskan dalam hukum syar'i. Saya tetep setuju bahwa wanita tetaplah harus mengutamakan urusan rumah tangganya di atas kepentingan-kepentingannya yang lain. Jadi, ketika seorang wanita bekerja tanpa sedikitpun mengabaikan urursan rumah tangganya, dan tetap menjaga kehormatannya, plus dapet ijin dari suami -- ya nggak salah juga, kan, ya?
Soal anak -- apa seorang anak yang ibunya full menemani di rumah pasti akan tumbuh jauh lebih baik dibanding anak yang ibunya bekerja di luar rumah? Sekali lagi, dunia ini nggak hitam-putih -- belum pasti.
Emm, mungkin kasus dua kakak perempuan saya bisa jadi contoh dalam hal ini. kakak perempuan tertua saya kebetulan punya keahlian yang membuat dia tetep bisa kerja sekaligus tetep bisa di rumah (paling nggak, kerjaannya nggak mengharuskan dia selalu ada di luar rumah). Sedangkan kakak ipar saya (istri dari kakak kedua) bekerja kantoran dari pagi sampai sore. Intinya, kakakperempuan pertama saya punya waktu yang jauh lebih banyak sama anaknya dibanding kakak ipar saya. Secara logika, hal itu akan membuat ponakan saya dari kakak perempuan pertama akan jauh lebih dekat dan kental 'celupan' pendidikannya oleh sang ibu, dibanding ponakan saya yang dari kakak kedua. Nyatanya? Enggak, tuh!
Yang saya lihat, kakak ipar saya punya kedekatan yang jauuuuhh lebih kental dengan anaknya dibanding kakak pertama saya. Celupan pendidikan dari sosok sang ibu juga jauh lebih jelas terasa pada diri ponakan saya yang dari kakak kedua. Jadi menurut saya, bukan semata soal seberapa banyak waktu yang kita punya, tapi seberapa baik kita memaksimalkan waktu tersebut agar semua fungsi tetap berjalan optimal.
Oh ya, saya dulu nggak sendirian waktu merajut angan ingin menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Hampir semua teman se-gank saya juga punya angan yang sama. Hari ini, beberapa dari mereka sudah menikah. Dan apa yang saya lihat? Sepertinya beberapa dari mereka juga berubah pikiran :) Ya, semesta ini memang cair. Keputusan kita seringkali nggak melulu soal seperti apa tekad kita sebelumnya, tapi fleksibel sama keadaan. Yah, meskipun juga ada yang benar-benar memenuhi angan-angan mereka -- dan saya sangat bangga dan salut melihatnya. Lagi-lagi soal keadaan sih tapi baliknya.
Saya pernah mendengar tausiyah Mamah Dedeh yang berkaitan soal ini. Beliau bilang wanita itu sebaiknya jangan sepenuhnya menggantungkan hidup dari suaminya. Yah, kita memang selalu berdoa untuk suratan terbaik. Tapi hidup selalu terdiri dari dua hal, kan... sedih dan bahagia. Banyak, kan, kasus seorang wanita yang seperti benar-benar kehilangan pegangan terutama dari sisi ekonomi, saat keadaan memaksanya kehilangan suami (entah perpisahan di dunia atau karna ajal). Kalo saya sih mikirnya dari yang paling sederhana. Kayaknya kok nggak lucu kalo pengen beli lipstik aja harus minta uang ke suami. Yah, meskipun nggak salah juga sih, itu kewajiban suami memang.
Salah satu teman yang sudah saya anggap sebagai kakak juga pernah bilang, nilai seorang menantu perempuan yang bekerja akan sangat berbeda di mata mertua, dibanding menantu yang nggak bekerja. Oke, nggak boleh mengeneralisasi memang. Beliau hanya berpendapat berdasarkan kondisi dirinya, dan saya pikir pendapat itu patut saya jadikan sebagai salah satu renungan.
Yah intinya, balik lagi... kita nggak boleh dengan mudah men-judge yang seperti ini lebih baik dan yang seperti itu buruk, ya. Semua tergantung bagaimana kita menjalankan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Yang jelas, asal semua syarat wajib terpenuhi, ya menurut saya jadi ibu bekerja sama sekali nggak salah. Meski saya pikir, kelak saya akan tetap mengusahakan untuk bisa mendapatkan penghasilan dengan tetap ada di rumah. Wallahu a'lam.
**tulisan ini hanya pendapat dari orang yang sama sekali belum mencicipi menjadi ibu rumah tangga, jadi pasti banyak kurang pasnya. hehe
kadang di bully sebagai ibu yang gak sayang anak karena bekerja...EGP saja, yg menjalani kan kita, bukan mereka...
BalasHapusIya mbak, kalo denger omongan orang gak ada habisnya :)
Hapus