Karang berlari-lari kecil menuju halte biasa ia menunggu Bus antar kota. Sudah hampir dua bulan Karang memilih untuk berangkat kerja menggunakan Bus. Padahal dulu ia paling anti – apalagi Bus Jepara-Semarang selalu overload penumpangnya. Motivasinya? Apalagi kalau bukan agar ia bisa bertemu dengan gadis berbulumata lentik itu. Ah, bahkan namanya saja ia belum tahu. Tapi ajaibnya, gadis itu terus memenuhi rongga dadanya – bahkan sejak pertama kali Karang melihatnya.
Gadis itu selalu sampai di halte tepat waktu – pukul 07.05, tidak lebih tidak kurang. Ia selalu diantar oleh lelaki beruban yang memakai seragam PNS. Pastilah Ayahnya, begitu Karang menduga. Sudah hampir dua bulan, dan pagi ini Karang bertekad menyapanya.
Tak lama kemudian, ekor matanya menangkap sosok yang ditunggunya. Turun dari boncengan, lalu mencium tangan ayahnya. Bersamaan dengannya, sebuah Bus datang. Gadis itu langsung meloncat ke dalam Bus yang sudah kelebihan muatan. Karang reflek ikut melompat. Ah, Tuhan berpihak padanya. Ia berdiri tepat di belakang gadis itu. Karang berpikir – mencari kalimat yang akan digunakannya sebagai pembuka percakapan.
“Kamu tiap pagi diantar Ayahmu, ya?” dengan suara bergetar akhirnya Karang berucap.
Gadis itu menoleh, lalu menggeleng. “Bukan, itu suamiku” sahutnya pelan.
Karang tertegun. Kakinya lemas, hatinya patah. Benarkah cinta tak mengenal batas usia?
oOo
**Fiksi mini ini dipilih Ibu Naning Pranoto sebagai fiksimini terbaik dalam event yang diselenggarakan oleh Raya Kultura tahun lalu.