“Perumpamaan wanita yang berjilbab dengan wanita yang tidak berjilbab itu seperti emas murni yang belum ditambang, dan mutiara yang telah diolah. Mereka sama-sama bernilai. Bedanya, kalau emas murni bebas dijamah para penambang yang seringkali tangannya kotor penuh lumpur. Sedangkan mutiara yang telah diolah, diletakkan dalam kotak kaca. Tak semuanya boleh menjamahnya, hanya orang-orang tertentu yang punya hak yang bisa”
Kata-kata tersebut diucapkan oleh Mbak Inas – pengisi mentoring mingguan di kampus dulu. Kata-kata yang membuat kemauan saya untuk berjilbab lebih baik terpantik, kemudian menjelma menjadi kobaran tekad.
“Saya takut diomongin para tetangga, mbak, kalau saya pakai jilbab. Kan saya bukan anak pesantren,” ucap saya saat masih dalam masa pertimbangan untuk memulai berjilbab di rumah. FYI, sebelumnya saya sudah pakai jilbab, hanya saja cuma ketika bepergian atau saat kuliah.
“Memangnya yang harus pakai jilbab hanya yang dari pesantren saja? Ocha pilih mana, nggak diomongin tetangga tapi Allah nggak ridho sama Ocha, atau diomongin tetangga tapi Allah ridho sama Ocha?” jawab Mbak Inas.
Beberapa hari setelah obrolan itu, Alhamdulillah saya benar-benar memutuskan untuk memperbaiki jilbab saya – terutama ketika di rumah.
Beberapa tahun belakangan ini, keputusan untuk berjilbab mungkin bukan keputusan yang ‘luar biasa’ dan aneh lagi. kalangan artis muda yang dulu masih amat jarang yang berjilbab pun yang berhijrah terus bertambah jumlahnya. Meski begitu, bukan berarti keputusan tersebut tidak perlu lagi kita apresiasi.
Entah kapan tepatnya dan siapa pencetus pertamanya yang membuat mode jilbab di Indonesia menjadi amat berwarna seperti hari ini. Berbagai macam tutorial cara berjilbab menjamur di Youtube. Dan jilbab tak lagi dilabeli kuno dan kampungan seperti entah berapa tahun silam.
Saya pernah turut mencoba mengubah gaya berjilbab saya dengan meniru beberapa tutorial jilbab yang tekun saya tonton di Youtube. Ya, di tengah ketidakstabilan kondisi hati saya setelah lepas dari lingkungan pergaulan kampus yang amat kondusif, saya berusaha ‘mengupgrade’ penampilan menjadi sedikit lebih modis. Tapi tidak lama. Karna pada akhirnya, saya sadar saya tengah membohongi hati saya sendiri. Saya tidak nyaman dengan gaya berjilbab seperti itu. Saya merasa sedang tidak menjadi diri saya sendiri. Saya masih selalu jatuh cinta setiap melihat muslimah engan jilbab panjangnya. Rindu mengetuk-ngetuk, dan akhirnya saya memutuskan untuk kembali menjadi diri saya sendiri: berjilbab dengan sederhana.
Tapi tentu saja bukan berarti berjilbab modis itu salah. Saya tidak termasuk dalam lingkaran yang punya keyakinan seperti itu. Saya justru prihatin saat beberapa orang – sesama muslim – justru ramai-ramai mencemooh para muslimah yang memilih berjilbab modis. Hei, kita sama-sama muslimah, kita saudara! Bukankah lebih baik jika kita saling mendukung? Jika ada saudara kita yang memilih berjilbab modis, jangan serta-merta dijudge bahwa niatnya untuk tabarruj. Sejak kapan kita diberikan hak untuk menilai niat seseorang? Rasanya lebih baik dan lebih bijak jika kita saling mendoakan agar selalu diberi keistiqomahan dalam kebaikan. Iya, kan? :)
hwah...
BalasHapusbackground blognya seru...
cantik ^^
(salah fokus)
iya background blognya bagus *eh ikut2an salah fokus* :)
Hapusjilbab memang sekarang berbagai macam model ya....
Hihi... makasiiih Mba Dhyna dan Mbak Santi :))
Hapuskalau menurut saya pakai jilbab sederhana kan kalau lagi solat di kampus gitu enak buka pasangnya kalau hijab kan ribet tusuk sana tusuk sini .. memang kalau bentuk bagus dan sangat beragam :)
BalasHapusBetull... kalo pake jilbab yg penitinya ribet banget kalo pas sholat di tempat umum...
Hapussuka banget sama postingan ocha ini... :)))
BalasHapussemoga menang yahh
Aamiin... makasih mba ninda :)
Hapus