Seperti halnya pernikahan, bayangan tentang sosok ibu mertua saya kelak juga sudah mulai terbayang sejak usia saya masih terbilang belia *terus sekarang udah tua, ya?!*
Sayangnya, yang sering terbayang bukannya tentang sosok ibu mertua impian atau idaman – melainkan sosok ibu mertua yang cukup mengerikan, dan semoga saya terhindar darinya. Apa pasal? Karna saya cukup sering disuguhi drama pertikaian #tsaahhh antara menantu perempuan dan ibu mertua. Otak saya seperti terdoktrin bahwa antara dua pihak itu tuh nggak bakal bisa akur. Hingga doktrin itu mulai perlahan luntur ketika melihat kakak perempuan saya dan ibu mertuanya yang seperti teman baik. Sejak saat itu saya mulai percaya bahwa ibu mertua pun nggak semuanya kejam – sama seperti ibu tiri. Yah, main pukul-rata memang nggak pernah bisa dibenarkan.
Ahya, saking kepikirannya
soal drama menantu vs ibu mertua ini, saya sampe pernah nulis tentang itu. Dan tau nggak... postingan itu merupakan postingan dengan angka
viewer paling tinggi di blog saya. Saya jadi narik kesimpulan bahwa tema tentang hubungan menantu wanita dan ibu mertua ini merupakan tema yang menghantui banyak pihak.
Sepupu saya ada yang juga takuuuuuttttt banget sama bayangan sosok mertua. Saking takutnya, dia sampe berdoa dapet suami yang yatim piatu biar nggak ngerasain punya mertua. Dan beneran loh, dikabulin sama Allah! :D. Jujur nih ya, saya sempet terinspirasi sama kisah sepupu saya itu, dan sempet iseng berdoa kayak dia. Jadiii, saya sempat selalu bertanya-tanya ‘apakah dia jodohku?’ tiap punya temen cowok yang ibunya sudah nggak ada. Ahihihi, Ya Allah... nggak banget, ya! Tapi saya sudah taubat, Insya Allah. Saya meralat doa yang sempat terlontar itu, dan semoga Allah belum meng-ACC SK pengabulannya. Aamiin. Ampun ya Allah, ampuuunnn.....
Menurut saya, agar hubungan antara menantu wanita dan ibu mertua bisa harmonis, kunci pertamanya – salah satunya – ada di tangan si menantu, sih. Seberapa bersedia menantu memahami si ibu mertuanya. Seberapa lapang dada si menantu untuk menyisihkan egonya untuk menerima suami satu paket sama ibunya. Yah, kalo saya pikir-pikir, nggak mudah lho rasanya ada di posisi seorang ibu yang harus ‘merelakan’ anak laki-lakinya menikah. Anaknya – yang ia timang-timang dan sayang-sayang sejak bayi, setelah dewasa – ganteng, mapan, dll – k ini harus ia lepas untuk ‘wanita lain’ yang mungkin akan lebih banyak menyita waktunya. Jadi kita para menantu wanita (kita?) harusnya lebih sabar, ya, menyelami perasaan si ibu mertua yang (mungkin) sedang dibakar api cemburu. Lhah, kalo si menantu apa-apa diambil hati yawis, pertumpahan darah *halah* pasti terjadi.
Emm... Pernah denger, kan, tentang aturan dalam Islam bahwa yang nomor satu bagi wanita setelah menikah adalah suaminya, sedangkan yang nomor satu bagi laki-laki yang sudah menikah TETAP ibunya?! Aturan ini sempet bikin agak gimanaaaa gitu sih buat saya. Semacam: kok nggak adil? Dia nomor satu buat saya tapi kenapa saya bukan yang nomor satu buat dia? Dll. Beberapa waktu lalu seorang teman juga sempet bertanya tentang ini sama saya, dengan mata berkaca-kaca – nggak tau kenapa sih tapi.
Alhamdulillah saya dapet jawaban yang bikin saya bisa berdamai dengan hati saya sendiri. Tapi sayangnya saya lupa dapet jawaban ini dari mana – entah denger dari siapa atau baca di mana. Yang jelas, kurang lebih seperti ini penjelasan bebasnya.
Kenapa yang nomor satu bagi seorang istri adalah suami? Karna suami adalah laki-laki yang tadinya bukan siapa-siapa kita, nggak punya ikatan darah sama kita, kenal belum lama, dan dia tiba-tiba bersedia ‘mengabdikan’ hidupnya bagi istri; menanggung hidupnya – jasmani dan rohani, bahkan sampai dosa-dosa sang istri pun suami harus ikut bertanggungjawab.
Lalu kenapa yang nomor satu bagi suami tetep harus ibunya? Ya karna dia nggak akan bisa menjalankan tugas beratnya sebagai seorang suami kalo bukan karna ibunya.
Yah, kira-kira begitulah. Yang jelas, aturan-aturan yang tampak kurang adil di mata kita, semata karna keterbatasan ilmu kita dalam memahami ketentuan-Nya tersebut.
Yup, sekali lagi saya mengingatkan diri sendiri dan siapapun yang baca tulisan ini: jangan cuma berdoa dapet suami yang baik, tapi berdoa juga dapet ibu mertua yang baik :)
Emm, saya mau menyampaikan sebuah kalimat untuk (calon) ibu mertua saya yang masih dirahasiakan Allah – dimanapun berada (siapa tau salah satu yang baca adalah ‘beliau’, haha):
Ibu, terima kasih telah merawat dan mendidik (calon) imam saya dengan baik. Saya janji akan menjadi istri yang selalu berusaha membantu beliau untuk mempersembahkan bakti terbaiknya padamu.