sumber |
Namanya Mbak Wardhani. Bukan nama samaran. Saya sudah minta ijin kok mau menulis tentang beliau di sini :) Wajahnya cantik sekali. Matanya indah menyiratkan keramahan, senyumnya amat meneduhkan. Beliau seorang mahasiswi Pascasarjana Kenotariatan di sebuah Universitas Negeri di Semarang, berasal dari Purwokerto.
Baru tiga kali kami bertemu di forum kajian buka puasa sunnah Senin-kamis di Wisata Hati Semarang. Meski begitu, saya sudah merasa dekat dengan beliau. Saya jatuh cinta pada parasnya yang ayu sejak pertama kali bertemu. Meski saat itu belum muncul rasa simpatik yang amat besar seperti saat ini. Penampilannya amat modis. Jauh lah pokoknya dari kesan 'tipe-tipe kebanyakan' cewek yang 'hobi kajian'. Ehehehe. Ternyata? Wuihh, saya melongo. Setelah basa-basi perkenalan, dia cerita (dan bermaksud mengajak saya pula) bahwa hampir setiap hari sepulang kerja (beliau kuliah hanya weekend, sisanya kerja) beliau datang ke kajian, di tempat-tempat berbeda. "Daripada diem di kost, Mbak.. waktunya terbuang sia-sia," katanya. Mulai saat itu lah simpati saya tumbuh. Kagum.
Pada pertemuan ketiga, saya semakin dibuat terkagum-kagum. Entah dari mana obrolan kami berawal. Yang jelas, saat itu saya tiba-tiba bercerita bahwa saya kadang masih sering 'kaget' melihat 'perbedaan', karna sejak kecil terbiasa hidup di lingkungan yang homogen.
"Kalau saya justru kebalikannya, Mbak... saya sudah terbiasa hidup di lingkungan heterogen, bahkan di dalam keluarga juga heterogen sekali" Kata Mbak Wardhani.
"Oh ya, Mbak?" Sahut saya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. Ya, saya segera menangkap sinyal akan segera mendapat cerita menarik dari gadis berparas bidadari itu. Dan benar saja, cerita mengagumkan mengalir tanpa sungkan dari mulutnya.
Mbak Wardhani berasal dari keluarga yang menganut beberapa agama berbeda. Ayahnya seorang muallaf sejak masih muda (Waktu kuliah kalo saya gak salah ingat). Tapi ya begitulah. Saat itu ayahnya baru 'sekedar' berstatus Islam, belum menjalankan konsekuensi jika sudah berislam. Kerabat banyak juga yang muallaf. Tapi banyak juga sepupu yang pindah agama (keluar dari Islam) karna menikah dengan pria non-muslim. Kakek-Nenek Mbak Wardhani beragama Budha. Dan bersama merekalah Mbak Wardhani tinggal, sejak remaja hingga kuliah. Jadi masa remaja Mbak Wardhani amat 'berwarna'. Islam, tapi kadang juga ke vihara.
Sampai akhirnya dekapan hidayah menyapa Mbak Wardhani saat ia duduk di bangku SMA. Saat sedang rapat OSIS (FYI, saat itu Mbak Dhani ketua OSIS), seorang anak rohis menegur Mbak Dhani.
"Dhan, agama kamu apa sih?" Tanya si anak Rohis.
"Islam lah!" Jawab Mbak Dhani.
"Islam kok gitu? Nggak pake jilbab, nggak pernah sholat juga!"
JLEB! Mbak Dhani terdiam. Ego darah mudanya terusik. Tapi dia nggak marah, dia memilih berpikir.
"Emang harus ya orang Islam pake jilbab?" Lanjut Mbak Dhani.
"Harus dong, wajib! Ada di Al-Qur'an"
Mbak Dhani kemudian mencari tahu dari berbagai sumber tentang wajibnya jilbab bagi muslimah. Dan nggak lebih dari dua minggu sejak ditegur si anak rohis itu, Mbak Dhani mantap mengenakan jilbab -- sampai hari ini. Duh, Allahu Akbar... betapa saya berkaca-kaca saat mendengar cerita ini langsung.
"Kok bisa sih, Mbak? Yang mengenal Islam dengan baik sejak kecil saja nggak segampang itu lho memutuskan berjilbab. Banyak banget pertimbangan, banyak banget yang dipikirkan. Kok Mbak Dhani seberani itu?" Tanya saya keheranan.
((Bersambung)) -->> #TersinetronIndonesia. Ahahaha =D
teruuusss terussss?
BalasHapuswh kok bersambung...bikin penasaran
BalasHapusMendapatkan hidayah kala masih muda itu beruntung bangeet. . .
BalasHapus