wikipedia |
Dalam acara Seminar Nasional Spirit Kartini Dalam Membangun Bangsa yang Mandiri, Kreatif & Berkarakter yang saya ikuti pada tanggal 16 April 2016 kemarin, saya mendapat kesempatan untuk mengajukan pertanyaan pada para pembicara. Sayang, yang menjawab pertanyaan saya hanya Hanung Bramantyo, karena MC sepertinya lalai mengingatkan para pembicara tentang pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab.
Saat itu saya menanyakan tentang sesuatu yang cukup menggelitik rasa penasaran saya. Saya pernah membaca tentang sebuah tulisan yang memaparkan polemik Kartini. Tentang orang-orang yang bertanya, kenapa harus selalu Kartini? Kenapa hanya Kartini? Sedangkan pahlawan wanita di Indonesia amat banyak, bahkan yang berjuang dengan memanggul senjata. Sedangkan Kartini apa? Perjuangannya bukankah 'hanya' sebatas hal-hal konseptual yang ia tuangkan dalam tulisan? Begitu kira-kira yang pernah saya baca dalam sebuah artikel.
Maka hari itu saya bertanya pada Hanung Bramantyo dan Dian Sastrowardoyo, apa yang membuat mereka merasa bahwa perjuangan Kartini istimewa. Bahkan Hanung sudah ambil ancang-ancang untuk membuat film tentang perjalanan hidup seorang Kartini.
Jawaban Hanung sederhana, tapi membuat saya terpana. Ia memaparkan alasan mengapa perjuangan Kartini amat berkesan di hati banyak orang terutama baginya. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan apalagi menyepelekan perjuangan pahlawan wanita lain, perjuangan Kartini punya relevansi yang masih amat kuat dengan masa kini.
Jika para pahlawan yang mengangkat senjata berjuang melawan sekelompok orang yang memang patut dilawan dan diserang -- yaitu penjajah, beda dengan Kartini. Perjuangan Kartini adalah perjuangan 'melawan' orang-orang terdekatnya sendiri. Orangtuanya, keluarganya, lingkungannya. Bukankah itu berat? Bukankah persoalan lebih mudah jika kita punya pendapat bertentangan dengan orang yang bukan siapa-siapa kita dibanding jika dengan keluarga?
Itulah salah satu perjuangan berat Kartini. 'Melawan' ayahnya sendiri, melawan budaya yang telah mengakar dan mendarah-daging di lingkungan terdekatnya sendiri. Salah satunya adalah ketika Kartini kecil harus rela dipisahkan dari ibunya sendiri, Nyai Ngasirah. Kartini harus dipisahkan dengan Ngasirah karna Ngasirah bukan berasal dari keturunan bangsawan. Sedangkan Kartini adalah seorang Raden Ajeng, yang menurut budaya saat itu, tidak boleh tinggal se-atap dengan rakyat jelata seperti Ngasirah. Bahkan, Kartini dilarang memanggil Ngasirah dengan sebutan Mbok (Ibu), melainkan harus memanggil dengan sebutan Yu (Mbak).
Kartini yang punya semangat belajar amat tinggi juga harus menerima kenyataan pahit dipingit. Meski pingitan tak membuat ia menyerah begitu saja. Ia berkarya melalui tulisan, menuangkan ide-idenya, membaca surat kabar-surat kabar. Sampai akhirnya Kartini harus menerima kenyataan untuk dinikahkan dengan orang pilihan ayahnya.
Perjuangan Kartini amat berkesan karna sampai hari ini pun orang-orang masih bisa bercermin langsung dengan mempelajarinya. Akan masih banyak orang yang merasa, 'ah, ini gue banget' saat mengetahui jalan cerita kehidupan Kartini. Begitu tutur Hanung Bramantyo.
Bukankah hari ini masih ada saja seorang wanita yang ingin lanjut S3 ke luar negeri, dan tidak mendapatkan ijin orangtuanya? Bukankah hari ini masih saja ada orangtua yang memaksakan prinsip-prinsipnya, tanpa peduli apakah si anaknya sepemikiran dengan prinsip tersebut atau tidak?
Dari Kartini, kita juga bisa belajar. Bahwa meskipun hanya dengan menuangkan pikiran lewat tulisan pun, sama sekali tak menutup kemungkinan bagi kita untuk mengguncang dunia. Termasuk lewat blog ya tentunya. Haha, penutupnya garing.