Konon, pernikahan akan mampu mengubah seseorang. Entah berubah menjadi lebih baik, atau sebaliknya. Dulu saya setengah gak percaya. Masa’ sih? Kok bisa? Kenapa harus berubah?
Setelah merasakannya sendiri, saya percaya. Percaya banget. Di umur pernikahan yang belum genap satu bulan saja, sudah banyak hal yang berubah dari saya. Meski baru perubahan-perubahan kecil. Dulu, saat bangun tidur saya gak langsung merapikan tempat tidur. Ada saja alasan yang membuat saya menundanya. Sekarang, seperti sudah otomatis bangun tidur tempat tidur harus kembali rapi. Dulu, saya menyetrika baju saat baju tersebut akan saya pakai. Sekarang, jelas gak mungkin, karna sekarang saya gak cuma mikirin baju saya sendiri. Konon lagi, perubahan-perubahan itu akan juga menyentuh hal-hal yang jauh lebih besar seiring semakin lamanya umur pernikahan. Tentang karakter salah satunya.
Selain tentang perubahan diri, pernikahan juga menuntut kita melakukan penyesuaian dan kompromi. Kata seorang teman, tiga bulan pertama pernikahan adalah masa-masa terberat dalam fase penyesuaian dan kompromi ini. Jika gak disadari sejak awal dan saling menyadari, fase ini bisa menjadi fase yang cukup berat dan menyesakkan. Contohnya tentang hal sepele tentang kebiasaan tempat berbelanja antara saya dan suami. Si mas suami dan keluarganya jauh lebih sering, bahkan selalu mengusahakan untuk berbelanja di Alfamart. Sedangkan saya lebih sering berbelanja di yang satunya. Setelah menikah, Mas Suami menekankan pada saya untuk berbelanja di Alfamart saja. Saya yang dasarnya agak keras kepala dan ngeyelan gak begitu saja nurut. Kenapa harus Alfamart? Bukannya sama saja?
Lalu Mas Suami pun berusaha menjelaskan alasannya memilih Alfamart, sesuai dengan apa yang dia tau. Kata Mas Suami, program donasi dari konsumen (pernah kan ditanya ‘kembaliannya boleh disumbangkan bla bla bla’?) yang dilakukan oleh Alfamart lebih transparan penyalurannya. Berita-berita tentang penyaluran donasi ke beberapa lembaga keagamaan jujur sempat membuat resah – meski kebenarannya belum terbukti. Bukan apa-apa sih, kita pengen hati-hati saja. Ini soal prinsip dan keyakinan ya, gak perlu diperdebatkan =))
Setelah dapet info dari Mas Suami, saya yang ngeyelan ya tentu gak begitu saja percaya dong. Hehe. saya berusaha mencari informasi tambahan. Selain dari hasil browsing, saya juga sengaja mengunjungi www.alfamartku.com yang merupakan website resmi Alfamart. Di sana saya bisa melihat berbagai program yang pernah dilakukan oleh Alfamart. Salah satunya adalah bertepatan dengan momen peringatan Hari Pendidikan Nasional beberapa minggu lalu, Alfamart menyalurkan sebanyak 2.293 kacamata serta 1.500 perlengkapan sekolah kepada para siswa di wilayah Jakarta, Malang dan Deli Serdang. Penyaluran kacamata gratis tersebut merupakan hasil penggalangan dana masyarakat melalui program “Bright Eyes Bright Future”. Selain itu, Alfamart juga pernah menjalankan program pembangunan rumah layak huni yang dinamakan Kampung Alfamart di beberapa kota. Dalam menjalankan program-program sosial ini, Alfamart gak berjalan sendirian. Alfamart menggandeng beberapa lembaga sosial-kemanusiaan seperti Habitat for Humanity Indonesia (HFHI) dan Yayasan Berani Bhakti Bangsa.
Setelah membaca sendiri program-program kemanusiaan Alfamart dari website resmi mereka – bukan sekedar hoax, saya jadi gak bisa ngeyel lagi sama Mas Suami. Hehe. kalau memang programnya dan penyalurannya jelas serta transparan, kami sebagai konsumen tentu saja gak akan ragy mengiyakan saat kasir bertanya tentang bolehkah kembalian receh kami didonasikan. Yang kadang bikin ragu kan ketika kita bertanya ke mana donasi itu akan disalurkan, si kasir menjawab tidak tahu dengan wajah ragu-ragu. Jadi, sekedar catatan, sepertinya penting juga memberi informasi pada kasir tentang program yang sedang dijalankan, agar saat ada konsumen bertanya, mereka bisa menjawab dengan meyakinkan =))
wih selama ini aku juga suka ragu tiap ditanyain kembaliannya mau disumbangkan nggak :))) thanks mbak udah menjawab! :D
BalasHapusHihi, sama ya mbak berarti :)
HapusSama-samaaa