Dulu, saya pernah mengeluh. Tentang rumah saya di desa yang letaknya cukup jauh dari kota. Menurut saya dulu, hal itu membuat gerak saya terbatasi. Saya merasa gak bisa belajar banyak hal dan memiliki wawasan yang luas seperti teman-teman sekolah saya yang lain lantaran minimnya fasilitas. Saat itu akses saya dengan internet masih sangat terbatas. Smartphone jelas belum punya, sedangkan warnet letaknya kurang lebih delapan kilometer dari rumah saya. Hal itu membuat saya jadi punya pemakluman yang terlalu luas -- bahkan kadang kebablasan -- untuk malas belajar dan mengembangkan diri. Menurut saya, semua itu karna berbagai keterbatasan kondisi saya.
Seiring berjalannya waktu, Alhamdulillah mata saya mulai terbuka. Allah mengirimkan orang-orang yang membuat saya akhirnya sadar, bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti. Berkarya di tengah keterbatasan adalah hal yang amat sangat mungkin. Kuncinya ada pada seberapa kuat kemauan dan tekad kita.
Salah satu orang yang membuka mata saya adalah Claudia Syarifah. Ia seorang alumni Universitas Diponegoro Semarang Fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Hubungan Internasional yang baru beberapa hari kemarin diwisuda. Kenapa seorang Claudia Syarifah ini mampu membuka mata saya bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk kita berhenti berjuang meraih cita-cita? Sederhana saja. Karna dia lahir dan tumbuh di desa yang sama dengan saya. Desa yang letaknya cukup jauh dari segala fasilitas kota yang sempat saya jadikan alasan kemalasan saya.
ambil dari FB Claudia Syarifah |
Tapi tentu saja bukan hanya karna dia tetangga saya :) Coba ketikkan nama Claudia Syarifah di kotak pencarian google. Kalian pasti akan segera paham maksud saya. Ya, dia adalah satu-satunya mahasiswi Indonesia yang berhasil memenangkan lomba essay yang diadakan oleh United Nations Academic Impact bekerja sama dengan ELS Educational Services, Inc. dan akhirnya membawanya berpidato di General Assembly of the United Nations atau lebih sering kita kenal dengan sebutan sidang umum PBB di Amerika Serikat. Wow! Jujur, saya gak pernah menyangka akan ada tetangga saya yang menginjakkan kaki di Negeri Adidaya tersebut dengan bermodalkan prestasi.
Sudah lama saya ingin menulis tentang dia. Tapi, ya begitulah. Terus tertunda karna (lagi-lagi) berbagai pemakluman saya pada diri sendiri. Hingga akhirnya, Mbak Primadita melalui tulisannya yang ini mengajak saya menulis tentang perempuan inspiratif. Saya pikir, kenapa saya gak menulis tentang Claudia Syarifah ini saja. Masih muda, cantik, berprestasi, sholihah (Insya Allah). Kurang inspiratif apa? :)
Nah, berikut ini adalah cuplikan obrolan saya dengan Claudia atau saya biasa memanggilnya Ovi (atau Opi). Itu panggilan kecilnya.
Rosa: Hai Opi. Eh, Opi apa Caludia sih manggilnya?
Claudia: Hai, Mbak. Opi boleh.. Claudia, it is sound good. Orang tua saya memberi nama Claudia yg maknanya "a peaceful heart", sementara Syarifah maknanya "Lady".
Rosa: Oke, Opi aja, ya. Soalnya sudah terbiasa dari kecil. Emm ngomong-ngomong, aku sering lho kepo-in akun FB dan IG-mu. Dan WOW banget lihat postingan-postingan fotomu yang ber-setting Amerika – salah satunya yang berlatarbelakang patung liberty. Itu dalam rangka apa sih?
Claudia: Foto di depan patung Liberty, itu bonus bisa mampir ke sana. Kebetulan sewaktu saya berkesempatan untuk berpidato dalam Sidang Umum di PBB tanggal 24 Juli 2015 lalu, yang mengangkat tema tentang "Post-2015 Agenda of the United Nations/Sustainable Development Goals (SDGs)”
Rosa: Gimana ceritanya kami bisa ada di event tersebut? Dan bagaimana perasaanmu?
Claudia: Jadi begini, UN kerjasama dengan ELS untuk menyelenggarakan lomba essay "Many Languages, One World" dengan tema Sustainable Development Goals (SDGs). Lalu saya mengangkat issue "Gender Equality" berdasarkan perspective saya sebagai mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional dengan spesialisasi Kejahatan Transnational. Alhamdulillah, essay saya terpilih lalu saya lolos tahap verifikasi serta wawancara dan diberi kehormatan oleh ELS dan United Nations untuk mengikuti serangkaian acara seperti International Youth Forum di Adelphi University juga hadiah istimewa untuk speech di United Nation General Assembly. I am motivated take part in this essay competition because it has been my dream and desire to contribute positively to the world. I have always believe that every one is a stakeholder in the world affair.
Claudia: Hai, Mbak. Opi boleh.. Claudia, it is sound good. Orang tua saya memberi nama Claudia yg maknanya "a peaceful heart", sementara Syarifah maknanya "Lady".
Rosa: Oke, Opi aja, ya. Soalnya sudah terbiasa dari kecil. Emm ngomong-ngomong, aku sering lho kepo-in akun FB dan IG-mu. Dan WOW banget lihat postingan-postingan fotomu yang ber-setting Amerika – salah satunya yang berlatarbelakang patung liberty. Itu dalam rangka apa sih?
Claudia: Foto di depan patung Liberty, itu bonus bisa mampir ke sana. Kebetulan sewaktu saya berkesempatan untuk berpidato dalam Sidang Umum di PBB tanggal 24 Juli 2015 lalu, yang mengangkat tema tentang "Post-2015 Agenda of the United Nations/Sustainable Development Goals (SDGs)”
Rosa: Gimana ceritanya kami bisa ada di event tersebut? Dan bagaimana perasaanmu?
Claudia: Jadi begini, UN kerjasama dengan ELS untuk menyelenggarakan lomba essay "Many Languages, One World" dengan tema Sustainable Development Goals (SDGs). Lalu saya mengangkat issue "Gender Equality" berdasarkan perspective saya sebagai mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional dengan spesialisasi Kejahatan Transnational. Alhamdulillah, essay saya terpilih lalu saya lolos tahap verifikasi serta wawancara dan diberi kehormatan oleh ELS dan United Nations untuk mengikuti serangkaian acara seperti International Youth Forum di Adelphi University juga hadiah istimewa untuk speech di United Nation General Assembly. I am motivated take part in this essay competition because it has been my dream and desire to contribute positively to the world. I have always believe that every one is a stakeholder in the world affair.
ambil dari FB Claudia Syarifah juga. Saat dia sedang berpidato di Forum PBB |
Perasaan saya? I am grateful, pesertanya dari 42 negara, yang dari Asia Tenggara ada saya dan seorang teman dari Vietnam. Sebagian besar dari Europe, U.S, juga beberapa negara benua Afrika.
Kebanyakan peserta lain sudah post-graduate dan doctoral, I am grateful, saya sangat senang dengan atmosphere-nya. Dapat keluarga baru, teman berpikir baru yang sangat menghargai ide. Kita semua masih keep in touch sampai sekarang.
Rosa: Wow, luar biasa. Nah, bisa ada di event itu berarti kamu harus cas cis cus bahasa inggris kan ya? Aku dengar kamu pintar bahasa inggris otodidak alias belajar sendiri, ya? Kok bisa sih? Gimana caranya? Terus belajarnya sejak umur berapa?
Claudia: Mengenai bahasa, bahasa itu sarana komunikasi terpenting agar supaya saling memahami. Di sana peserta menggunakan 6 bahasa resmi PBB. Kebetulan saya berbahasa Inggris, Arab, dan sedikit Perancis.
Autodidact? Tidak mungkin. Saya tidak merasa seperti itu, sebagian orang memang suka berlebihan. Saya belajar di sekolah formal dan memiliki guru-guru yang penuh dedikasi, ditambah dari kecil saya banyak membaca, baca buku apa saja yang saya temukan di rak buku orang tua saya. Konon ceritanya sebelum masuk TK saya sudah lancar membaca koran.
Oh ya, pertama kali saya belajar berbahasa asing ketika saya masih usia 4 tahun. Adik perempuan bapak saya setiap hari menyanyikan lagu berbahasa inggris, saya banyak belajar darinya sewaktu kecil. Tambahan sedikit, sejak kecil saya konsisten membagi waktu 8 jam untuk hobi, 8 jam untuk belajar dan 8 jam untuk istirahat atas nasehat dan arahan ibu. Itu hal sederhana yang berarti.
Rosa: Ooo. Berarti konsistensi sejak kecil memang berperan penting banget ya sepertinya. Lanjut, ya, Aku tu jujur agak heran sekaligus kagum sama kamu. Lahir dan besar di desa yang bisa dibilang lumayan jauh dari berbagai kemapanan fasilitas belajar. Tanpa sedikitpun bermaksud meremehkan, sekolahmu dari SD sampai SMA juga di sekolah yang (maaf) gak favorit dan kualitasnya biasa saja, kan? Artinya atmosfer kompetisi soal prestasi pasti minim. Tapi kok kamu bisa ‘melompat’ setinggi ini? Bisa mencapai titik yang sepertinya hampir gak pernah terpikir di benak anak-anak muda di desa kita. Apa sih motivasi terkuatmu? Apa gerangan yg menjadi pemantik semangatmu?
Claudia: Oke, I see kok, Mbak :) Tidak dapat dipungkiri, lokasi desa kita yang terbilang jauh pusat kota membuat kita kerja keras beberapa kali lipat dari mereka yang di kota. But it is OK, lebih gereget bukan?
Soal sekolah, Memilih sekolah itu kayak milih jodoh -__- Pertama sekali saya ditanya mau sekolah dimana adalah selulus MI (setingkat SD) dari Kajok (nama salah satu dusun di daerah kami). Saya jawab mau di MTs (setingkat SMP) Hasan Kafrawi (nama salah satu sekolah di daerah kami) saja, saya waktu kecil mikirnya cuma main saja, jadi ga pengen sekolah jauh-jauh. Lalu setelah lulus MTs, saya bilang ke orang tua ingin sekolah di Kudus, tapi mereka tidak merestui, mengingat saya belum mandiri waktu itu. They know me better than I do. Akhirnya saya memilih untuk kembali melanjutkan MA (setingkat SMA) di Hasan Kafrawi. Sejak MTs saya di Hasan Kafrawi, saya jatuh hati dengan kecerdasan dan dedikasi tinggi para gurunya.
Memang pada saat itu MA-nya cuma terdiri dari 4 kelas, tetapi fasilitas lumayan lengkap. Sehari-hari belajar dengan LCD, tempat duduk selayaknya anak kuliah, di SMA lain tentu masih jarang yg seperti itu di tahun tersebut. Peluang untuk berkompetisi juga banyak, kepala sekolah kami sangat update dan mendukung ketika ada lomba baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Saya sempat menjuarai lomba pidato se-kabupaten sewaktu MA, teman2 juga ada yg menang lomba PMR, Pramuka, dll. Sesuai minat dan bakat. Potensi saya banyak ditemukan dan dikembangkan di sana.
Tentang “melompat setinggi itu”, Wkwk.. Sebenarnya memang sudah jadi kekarepan saya sejak remaja, semuanya bertahap disusun dari bawah, mulai kabupaten, provisinsi, nasional, lalu internasional. I love people who dream and create, jadi tiap saja punya mimpi saya akan pelihara bara itu dalam dada saya, lalu menyusun seribu jalan untuk menujunya.
Rosa: Ooo. Hmm, berarti apa yang sering saya dengar salah, ya. Kebanyakan orang seringkali hanya melihat dari luar. Hanya dari peringkat akreditasi sekolah, misalnya.
Claudia: Sepakat! Saya selalu tanamkan dalam hati dan berusaha untuk mengartikulasikan prinsip mencari ilmu sebagaimana yang ada dalam kitab Talimul Mutaalim yg diajarkan Bapak Sodiq (guru MI saya). Nah, terbukti, kan? Tidak peduli sejauh apa kita belajar, sepelosok apa tempatnya. Yang penting itu siapa gurunya, masa, kesabaran kita. Begitupun ketika kuliah, prinsip-prinsip mencari ilmu tersebut selalu saya jaga.
Rosa: Prinsip mencari ilmu di kitab talimul mutaalim seperti apa isinya?
Claudia: 1. Kecerdasan, 2. Haus akan ilmu, 3. Kesabaran, 4. Pengorbanan materi dan waktu, 5. Petunjuk guru, 6. Waktu yang panjang.
Rosa: Waahh, makasih ya, Pi. Jadi dapat tambahan ilmu :) Emm, tapi, Pi... kamu pasti pernah dong semangatnya down? Nah, apa sih yang biasanya jadi booster buat kamu biar semangat belajar dan berjuangmu kembali membara?
Claudia: Semua orang pasti pernah merasa lelah dan down. Ketika saya lelah dan sedang kecewa, saya ambil waktu untuk istirahat. Saya mengingat-ingat sewaktu kecil ketika tidur dibelaian nenek, beliau penuh antusias bercerita tentang orang tuanya, mereka sosok yang mengagumkan; ambisius dan berhati lembut. Nenek selalu bilang "urip iku sejatine urup", hidup itu sejatinya menyala, lighting is true life.
Saya selalu mengenang percakapan kami. “Sebaik-baiknya hidup itu yang bermanfaat, sebisa mungkin memberi manfaat untuk banyak orang. Bagaimana kamu bisa menyinari orang lain jika kamu sendiri dalam kegelapan (kebodohan dan kepayahan), kamu harus mengurangi kegelapan di dalam dirimu hingga pada saatnya kamu bisa menyala, bercahaya untuk banyak orang"
Belakangan saya berfikir bahwa institusi paling berpengaruh adalah institusi keluarga.
Rosa: Aaaa, so sweet bangeettt! Terus resolusi yang ingin kamu capai dalam waktu dekat ini apa, Pi?
Claudia: Mau nikah dong! Hehe. Bercanda, Mbak! Saya pengen S2, mau ambil MBA.
Rosa: Lho, serius juga gak apa-apa kok. Nikah sekaligus S2 kan bisa. Hehe. Sekarang soal tokoh inspiratif. Siapa sih sosok perempuan inspiratif yang kamu kagumi dan menjadi salah satu motivator hidupmu? Apa alasannya?
Claudia: Tokoh inspiratif perempuan, ya? Gak jauh-jauh sih. Saya pengagum berat 2 ratu di Jepara. Ratu Shima alias Kalingga dan Ratu Kalinyamat. Hehe. Sayangnya mereka bukan penulis dan gak nyuruh orang buat nulis cerita mereka, jadinya mereka tidak seabadi kartini yang tulisannya bisa dikenang sepanjang sejarah. Gak main-main lho! Mereka itu Ratu. Pemimpin. Saya mendengar banyak tentang mereka dari nenek saya, ibunda bapak. Di zaman ratu Shima berkuasa, emas ditaruh di perempatan jalan tidak ada yang ambil. Saking sejahteranya rakyat jaman itu dan saking tegaknya law enforcement. Saya sangat kagum. Lalu, Ratu Kalinyamat, dia cucu wali yang luar biasa, di era kepemimpinannya ia berhasil mengusir Portugis dari selat Malaka, kira-kira itu abad 16, mengingat di abad itu imperealisme Barat dimulai.
Rosa: Wow, out of the box, ya! Saya kira kamu bakal menyebut wanita-wanita masa kini, penulis buku, tokoh pendidikan, dll sebagai tokoh inspiratif.
Claudia: Haha. Saya belum menemukan yang sekeren mereka. Kebanyakan anak muda sekarang kurang mau menyelami sejarah. Atau jangan-jangan sayanya yang gagal move on? Haha.
Rosa: Hihi. Saya tersentil nih, karna selama ini malas belajar sejarah. Yang terakhir, Pi... kamu punya cita-cita apa buat desa kita tercinta?
Claudia: Ketika saya berpidato di UN, ketika itu juga mimpi saya untuk mewujudkan 17 agenda SDGs (bisa dilihat di internet) mulai tumbuh. Ini bukan tentang saya, tetapi tentang kita semua, tentang kamu, sebagai bagian dari bumi yang indah ini. Saya selalu katakan pada diri saya sendiri bahwa "I am global citizen, and my country is humanity".
SDGs itu blueprint. Jadi PBB punya tujuan untuk mewujudkan SDGs, untuk kemaslahatan seluruh umat manusia, tak peduli warna kulit, ras, atau agama.
Pancur itu berasal dari kata 'Pancer' yang artinya pelangi. Mpu Supo Madrangi memberi nama desa kita sedemikian indah pasti ada harapan besar di dalamnya. Desa kita ini dataran tinggi, pelangi yang berada di dataran tinggi atau pelangi di atas bukit yang dituju oleh banyak mata. Indah bukan? Harapannya kita semua dapat menjadi tauladan yang baik, pelangi itu warna aslinya putih tetapi bisa jadi warna-warni. Keberagaman itu indah dan kita tidak boleh lupa akan fitrah kita untuk menjaga hubungan baik dengan sesama ciptaan dan Pencipta.
Pancur itu berasal dari kata 'Pancer' yang artinya pelangi. Mpu Supo Madrangi memberi nama desa kita sedemikian indah pasti ada harapan besar di dalamnya. Desa kita ini dataran tinggi, pelangi yang berada di dataran tinggi atau pelangi di atas bukit yang dituju oleh banyak mata. Indah bukan? Harapannya kita semua dapat menjadi tauladan yang baik, pelangi itu warna aslinya putih tetapi bisa jadi warna-warni. Keberagaman itu indah dan kita tidak boleh lupa akan fitrah kita untuk menjaga hubungan baik dengan sesama ciptaan dan Pencipta.
Rosa: Duuh, speechless. Luar biasa lah pokoknya! Terima kasih sekali atas waktunya ya, Pi. Ngobrol bentar sama kamu sudah dapat banyak hal yang menginspirasi. Semoga segala cita-cita dan harapanmu tercapai, ya.
Claudia: Amiin. Sama-sama, Mbak :)
Hihi, panjang yaaa. Saya gak tahan untuk gak tanya macam-macam sama Opi alias Claudia, mumpung bisa ngobrol. Jujur, ada beberapa bagian yang terpaksa harus saya skip. Bukan karna apa-apa, tapi temanya nanti jadi melebar kemana-mana.
Yang jelas, dari perempuan muda bernama Claudia Syarifah ini saya belajar banyak hal. Salah satunya dan yang terutama adalah, betapa ia masih selalu memegang hal-hal sederhana seperti nasehat neneknya dan nasehat guru MI-nya meski ia sekarang sudah 'meroket'. Berapa banyak dari kita yang ketika sudah merasa 'tinggi' sedikit langsung lupa dengan hal-hal sederhana yang sebelumnya kita pegang, lantas menggantinya dengan hal-hal yang seolah lebih WOW. Kutipan dari buku ina-inu lah, ucapan tokoh dunia siapa lah, dll. Claudia Syarifah mengajarkan pada saya untuk berpijak di bumi gak peduli sudah seberapa tinggi lompatan kita.
Ah, satu lagi. Claudia Syarifah juga rasanya menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia masih punya anak-anak muda yang cemerlang. Yang siap mewarnai Indonesia dengan berbagai torehan prestasi. Saya berharap, anak-anak muda di Indonesia menemukan inspirasi-inspirasi dari sosok seperti ini. Bukannya dari selebgram-selebgram yang postingannya hampir gak ada nilai postifinya sama sekali.