Modal Menjadi Orangtua. Gak lama lagi Insya Allah saya punya amanah baru, yaitu sebagai orangtua. Amanah yang konon sama sekali gak ringan. Dan itu bikin saya banyak merenung, sekaligus sedikit resah. Selain resah memikirkan siapa nanti yang jagain si adek selepas masa cuti melahirkan saya habis, saya juga resah memikirkan soal; sudah punya modal apa saya untuk menjadi orangtua sebentar lagi? Saya takut gak punya cukup modal, sehingga saya gak bisa jadi orangtua yang baik buat anak saya. Apa ini tergolong terlalu paranoid?
Anehnya, semakin ke sini saya justru semakin malas membaca buku-buku bertema parenting. Beda sekali dengan saat sebelum menikah. Dulu saya rajin sekali baca buku parenting karna merasa itu modal penting untuk bisa menjadi orangtua yang baik. Sekarang, beberapa buku parenting malah bikin saya merasa semakin takut. Takut gak bisa memenuhi berbagai standar itu. Takut gagal.
Tapi, saya mendapatkan sebuah 'titik terang' saat pulang kampung seminggu lalu.
Saya dan mas suami mendapat kejutan ketika memasuki kamar. Di sana, sudah ada sebuah almari anak-anak baru, yang ternyata dipersiapkan oleh ibu khusus untuk anak saya. Saya terenyuh seketika. Sudah ada pula ember mandi bayi.
Padahal saya hanya akan dua bulan tinggal di sana selama cuti melahirkan. Setelah itu, saya akan kembali berdomisili di Semarang, dan ibu saya akan kembali harus bersabar menahan rindu pada saya, plus pada cucu barunya.
Lalu kenapa ibu saya mau repot-repot menyiapkan almari dll, padahal toh beliau tau bahwa gak lama kemudian beliau akan kembali kami 'tinggalkan'?
Pikiran semacam itu juga terlintas di benak saya ketika saya hendak menikah.
Bapak-ibu saya merupakan orang yang paling bahagia setelah saya, sekaligus paling sibuk mengurus segala macam persiapannya. Sibuk pikiran, materi dan tenaga. Saya mikir, kenapa mereka mau-maunya sebegitu dibuat repotnya sekaligus sebegitu bahagianya menyambut pernikahan saya, padahal mereka tau bahwa setelah saya menikah maka seketika itu hak mereka atas saya berpindah tangan pada orang lain (suami saya)? Padahal mereka juga tau bahwa hanya beberapa hari setelah segala macam keriuhan acara pernikahan saya, saya akan meninggalkan mereka dalam kesepian?
Kenapa?
Tulus. Karna mereka punya cinta yang tulus pada saya. Ketulusan lah yang membuat mereka turut berbahagia sepenuh hati saat melihat anaknya bahagia, meski setelahnya mereka harus menanggung nestapa.
Ketulusanlah yang membuat mereka tak hendak menghitung-hitung apa yang telah mereka keluarkan, untuk dimintai balasan pada anaknya.
Ketulusanlah yang membuat mereka selalu berupaya memberikan dan melakukan yang terbaik demi anaknya.
Dan saya simpulkan, itulah (salah satu) modal utama menjadi orangtua: KETULUSAN.
Saya tau belajar berbagai ilmu parenting juga modal yang penting. Tapi pengetahuan atas ilmu parenting yang gak didasari ketulusan sepertinya hanya akan membuat kita kelelahan saat berusaha mengaplikasikannya.
Seorang teman bercerita pada saya. Sebelum memiliki anak, dia sering bangun kesiangan. Setelah memiliki anak, dia selalu terbangun jam tiga dini hari, dan segera bergegas menyiapkan segala macam keperluan anaknya sebelum dia berangkat kerja jam tujuh pagi.
Saya tanya, gimana caranya mengubah kebiasaan bangun? Karna saya sudah pernah mencoba sendiri untuk melakukan itu, dan belum berhasil sampai sekarang. Sama sekali bukan hal mudah. Teman saya menjawab; naluri tulus sebagai seorang ibu lah yang bikin saya bisa melakukan itu.
Jadi, sebelum terlalu pusing belajar teori ini-itu tentang parenting, sepertinya membangun cinta yang tulus pada anak mulai sekarang menjadi jauuhhh lebih penting. Bukannya perasaan itu akan muncul dengan sendirinya? Entahlah. Tapi menurut saya enggak. Pernah dengar cerita tentang orangtua yang 'menuntut' anaknya membalas apa yang telah ia berikan? Atau contoh sederhananya, orangtua yang 'menuntut' anaknya meraih predikat terbaik di sekolah karna telah dileskan macam-macam. Menurut saya itu bentuk ketidaktulusan. Jadi menurut saya, tetap butuh usaha.
Ini hanya tulisan dari seorang calon ibu yang tengah resah mempersiapkan diri. Bisa jadi banyak yang gak pas. Bisa jadi, ada yang berkenan membagi cerita tentang membangun ketulusan pada anak? Saya pasti akan senang sekali :)
Saya dan mas suami mendapat kejutan ketika memasuki kamar. Di sana, sudah ada sebuah almari anak-anak baru, yang ternyata dipersiapkan oleh ibu khusus untuk anak saya. Saya terenyuh seketika. Sudah ada pula ember mandi bayi.
Padahal saya hanya akan dua bulan tinggal di sana selama cuti melahirkan. Setelah itu, saya akan kembali berdomisili di Semarang, dan ibu saya akan kembali harus bersabar menahan rindu pada saya, plus pada cucu barunya.
Lalu kenapa ibu saya mau repot-repot menyiapkan almari dll, padahal toh beliau tau bahwa gak lama kemudian beliau akan kembali kami 'tinggalkan'?
Pikiran semacam itu juga terlintas di benak saya ketika saya hendak menikah.
Bapak-ibu saya merupakan orang yang paling bahagia setelah saya, sekaligus paling sibuk mengurus segala macam persiapannya. Sibuk pikiran, materi dan tenaga. Saya mikir, kenapa mereka mau-maunya sebegitu dibuat repotnya sekaligus sebegitu bahagianya menyambut pernikahan saya, padahal mereka tau bahwa setelah saya menikah maka seketika itu hak mereka atas saya berpindah tangan pada orang lain (suami saya)? Padahal mereka juga tau bahwa hanya beberapa hari setelah segala macam keriuhan acara pernikahan saya, saya akan meninggalkan mereka dalam kesepian?
Kenapa?
Tulus. Karna mereka punya cinta yang tulus pada saya. Ketulusan lah yang membuat mereka turut berbahagia sepenuh hati saat melihat anaknya bahagia, meski setelahnya mereka harus menanggung nestapa.
Ketulusanlah yang membuat mereka tak hendak menghitung-hitung apa yang telah mereka keluarkan, untuk dimintai balasan pada anaknya.
Ketulusanlah yang membuat mereka selalu berupaya memberikan dan melakukan yang terbaik demi anaknya.
Dan saya simpulkan, itulah (salah satu) modal utama menjadi orangtua: KETULUSAN.
Saya tau belajar berbagai ilmu parenting juga modal yang penting. Tapi pengetahuan atas ilmu parenting yang gak didasari ketulusan sepertinya hanya akan membuat kita kelelahan saat berusaha mengaplikasikannya.
Seorang teman bercerita pada saya. Sebelum memiliki anak, dia sering bangun kesiangan. Setelah memiliki anak, dia selalu terbangun jam tiga dini hari, dan segera bergegas menyiapkan segala macam keperluan anaknya sebelum dia berangkat kerja jam tujuh pagi.
Saya tanya, gimana caranya mengubah kebiasaan bangun? Karna saya sudah pernah mencoba sendiri untuk melakukan itu, dan belum berhasil sampai sekarang. Sama sekali bukan hal mudah. Teman saya menjawab; naluri tulus sebagai seorang ibu lah yang bikin saya bisa melakukan itu.
Jadi, sebelum terlalu pusing belajar teori ini-itu tentang parenting, sepertinya membangun cinta yang tulus pada anak mulai sekarang menjadi jauuhhh lebih penting. Bukannya perasaan itu akan muncul dengan sendirinya? Entahlah. Tapi menurut saya enggak. Pernah dengar cerita tentang orangtua yang 'menuntut' anaknya membalas apa yang telah ia berikan? Atau contoh sederhananya, orangtua yang 'menuntut' anaknya meraih predikat terbaik di sekolah karna telah dileskan macam-macam. Menurut saya itu bentuk ketidaktulusan. Jadi menurut saya, tetap butuh usaha.
Ini hanya tulisan dari seorang calon ibu yang tengah resah mempersiapkan diri. Bisa jadi banyak yang gak pas. Bisa jadi, ada yang berkenan membagi cerita tentang membangun ketulusan pada anak? Saya pasti akan senang sekali :)