Momen penting yang paling ditunggu-tunggu melahirkan adalah momen menyusui. Saya rasa, hampir semua ibu yang sehat jiwa raganya pasti ingin bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya dengan menyusui. Tak terkecuali saya.
Sejak awal kehamilan, saya selalu yakin bahwa ASI saya akan sangat lancar bahkan berlebih seketika setelah melahirkan. Saya berkeyakinan seperti itu karna pernah mendengar seorang teman bercerita bahwa ASI-nya sedikit lantaran faktor keturunan. Ia punya kakak perempuan yang ASI-nya juga sedikit. Nah, sedangkan kakak perempuan saya ASI-Anya sangat lancar, bahkan berlebih.
Apa salah keyakinan saya tersebut? Sama sekali tidak. Justru keyakinan positif konon juga salah satu faktor penentu.
Sayangnya, keyakinan bahwa ASI saya akan langsung lancar setelah melahirkan itu perlahan menjelma kesombongan, tanpa saya sadari.
Saat melihat teman minum jamu dan ASI booster, saya sesumbar. Nanti saya gak akan minum jamu (karna gak doyan), dan tanpa jamu ASI saya sudah lancar. Saat suami mengingatkan untuk makan macam-macam sayur dan kacang-kacangan yang baik untuk pelancar ASI saat masih hamil, saya jumawa. Dulu mbak saya gak perlu makan macam-macam juga ASI-nya tetap lancar jaya.
Saya lupa. Bahwa ASI merupakan bagian dari rizki. Dimana rizki, adakalanya ada yang Allah berikan kemudahan tanpa usaha berarti. Ada pula yang setelah berlelah-lelah berusaha baru diberi. Ada juga yang mengerahkan segala upaya, tetap tidak dikehendaki untuk memiliki.
Iya, saya sempat melupakan itu. Lalu Allah mengingatkan saya.
Sesaat setelah melahirkan, saya diminta menyusui. ASI saya belum keluar, tapi para bidan membesarkan hati saya. Gak apa-apa, wajar, disusukan saja, pasti akan segera keluar.
Esok hari, ASI saya tetap belum keluar. Alhamdulillahnya, bayi saya sama sekali gak rewel. Namun ibu saya mulai resah. Beliau menanyakan apakah sudah ada beberapa tanda-tanda pada payudara yang saya rasakan, sebagai tanda ASI akan segera keluar? Saya jawab belum. Saya gak merasakan apa-apa. Masih tetap seperti biasanya. Lagi-lagi para bidan di Puskesmas tempat saya melahirkan membesarkan hati saya. Gak masalah, bayi bisa bertahan tiga hari tanpa asupan apapun, karna masih punya cadangan dari dalam. Menguatkan saya untuk tidak memberikan susu formula. Saya kembali optimis.
Sekembalinya ke rumah, malam kedua bayi saya mencecap kehidupan dunia, ia mulai menunjukkan tanda-tanda lapar. Bangun setiap satu jam sekali. Terus saya susui, meskipun gak setetespun ASI keluar.
Esok harinya, orang-orang disekitaran mulai mengintimidasi. Kasihan. Tubuhnya mulai kuning. Dan lain sebagainya. Hati saya seperti diiris. Perih sekali melihat sorot mata bayi saya yang sayu. Lalu pertahanan saya jebol. Dengan berlinang airmata saya minta suami saya berangkat membeli susu formula.
Hari berganti hari, ASI saya masih tak kunjung keluar. Lalu perlahan saya tak lagi menyesali keputusan memberikan susu formula pada anak saya. Mau gimana lagi? Apa iya lebih baik membiarkan bayi saya kelaparan daripada memberinya susu formula?
Harusnya tetap disusukan saja terus agar terangsang.
Sudah selalu. Meski belum ada ASI-nya, saya tetap keras kepala meminta bayi saya menyusu.
Harusnya cari donor ASI.
Saya hidup di desa. Opsi ini terlalu sulit saya ambil.
Meski gak menyesal memberikan susu formula, tetap saja naluri saya sebagai seorang ibu tercabik. Saya sempat merasa bagai remah rengginang yang gak ada artinya. Saya sempat merasa 'cacat' sebagai seorang ibu.
Saya sempat mencari tahu apa sebab ASI saya sebegitu seret. Setelah melahirkan, saya anemia parah. Dua kali pingsan. Bahkan setelah sehari semalam, saya baru kuat berdiri, itupun sambil didampingi. Nafas saya masih sering sesak saat berjalan. Dan ternyata, melalui browsing saya menemukan penjelasan bahwa anemia dapat menghambat produksi ASI.
Berbagai usaha terus saya lakukan. Sekali lagi, ASI merupakan salah satu bentuk rizki. Dan saya percaya, rizki juga harus diusahakan. Masalah bagaimana nanti hasilnya, barulah bukan urusan kita.
Mengobati anemia dengan makan makanan bergizi dan minum obat adalah langkah pertama. Makan makanan yang konon melancarkan ASI adalah langkah kedua. Lalu langkah ketiganya, saya memutuskan untuk menggenapkan ikhtiar dengan membeli ASI Booster Tea.
Sunber: FB Pejuang ASI II |
Di hari ke-9 usia bayi saya, ASI Booster Tea yang saya order datang. Di hari ke-10, payudara saya mulai terasa kencang, dan konsumsi susu formula di hari itu jauh lebih sedikit dari biasanya. Di hari ke-11, saya memutuskan untuk 'mencoba' menghentikan pemberian sufor, sambil menghitung berapa kali bayi saya BAK dalam 24 jam. Konon, tanda ASI cukup adalah saat bayi BAK 6 kali dalam 24 jam. Dan hari itu, bayi saya BAK sebanyak 8 kali (pagi hingga jam 8 malam. Yang setelahnya gak ketahuan karna saya pakaikan diapers).
Kalau dulu saya sesumbar gak akan minum jamu karna gak doyan, hari ini saya sudah lupa. Ternyata demi anak, lidah saya bersedia berdamai. Ya, ASI Booster Tea rasanya seperti jamu. Jujur saja gak enak. Kalau baunya seperti rempah-rempah, sedap. Tapi percayalah, naluri keibuan ternyata mampu membuat kita mengabaikan rasa yang gak enak itu. Saya biasa membuatnya di pagi hari. Dua sendok ASI Booster Tea, direbus dengan 750 ml air, selama 39 menit dengan api kecil. Lalu membaginya menjadi 3 bagian untuk diminum pagi, siang dan malam hari.
Alhamdulillah. Saya berucap syukur. Hati saya bersorak. Akhirnya Allah karuniakan rizki ASI pada saya setelah serangkaian usaha. Meskipun mungkin gak seberlimpah ASI para ibu yang lain, saya akan tetap mensyukurinya, agar Allah berkenan terus menambahnya. Aamiin.