Idul Adha ini saya lewati di kampung
halaman, setelah dua kali idul adha saya lewati di kota kelahiran suami.
Seneng banget. Pertama karena, ya pokoknya seneng aja kalo pas di
rumah. Bisa melepas kangen sama keluarga tercinta.
Seneng
keduanya, karena melihat kesadaran untuk ber-qurban di desa saya
ternyata sudah sangat bagus. Jauh banget jika dibanding dengan 4 tahunan
lalu ke belakang.
Saya
takjub sih, jujur aja. Masyaa Allah. Dulu tuh di desa saya yang qurban
bisa dihitung pake jari sebelah tangan, itupun gak semua terpakai.
Seringnya disembelih sendiri oleh yang berqurban. Jadi masjid tu habis
sholat idul adha, yaudah sepi kayak gak ada apa-apa. Jangan tanya ada
panitia qurban gak. Ya jelas gak ada dong.
Nah,
3 tahun belakangan ini, masjid mulai ada panitia qurban bersama gitu.
Gabungan dari beberapa masjid dan beberapa RT sih kalo gak salah. Dan
jumlahnya pun gak tanggung-tanggung. Tahun ini, hewan qurbannya terdiri
dari 1 ekor sapi, dan 28 ekor kambing. WOW!
Apa
karna tingkat perekonomian di desa saya meningkat pesat? Emm, kalo
secara kasat mata sih kayaknya enggak ya. Masih gitu-gitu aja kok
kayaknya.
Menurut
saya sih lebih ke kesadarannya yang sudah mulai tumbuh. Kesadaran bahwa
qurban itu ibadah yang sangat dianjurkan jika kita mampu. Jadi kalo
harga kambing 3 juta, terus kita punya tabungan 3,5 juta, itu ya artinya
mampu. Jadi enggak harus nunggu kita kaya berlimpah-ruah dulu, baru
qurban.
Dulu,
ada 1 orang yang semua orang di desa kami tau beliau lebih dari mampu
juga seingat saya enggak qurban. Balik lagi, karna dulu kesadarannya
belum ada. Makanya, Masyaa Allah, seneng banget lihat kesadaran
masyarakat desa saya udah bagus banget untuk berqurban.
Nah, kalo itu cerita idul adha dari desa tercinta saya. Lalu gimana cerita idul adha di tempat tinggal saya saat ini?
Antara
senang dan sedih sih. Senangnya karna sejak pertama kali datang,
kesadaran untuk berqurbannya memang sudah bagus. Mungkin dari latar
belakang pendidikan juga emang jauh lebih bagus sih ya.
Cumaaa,
sedihnya, banyaknya hewan qurban di lingkungan kami, bisa dibilang gak
terdistribusi secara merata. Distribusinya ya ke lingkungan-lingkungan
situ aja. Tempat tinggal saya biasanya dapat pembagian dari dua masjid
-- yang memang dua-duanya dekat dengan rumah, dan dua-duanya hewan
qurbannya banyak.
Apa
akibatnya? Ada penumpukan hewan qurban di rumah-rumah tertentu. Banyak
yang sampe freezer kulkasnya aja gak muat buat nampung semua daging yang
didapat. Padahal kalo mau dilihat lebih luas, masih banyaaaakkk banget
daerah yang belum tersentuh hewan qurban.
Daerah-daerah
macam desa saya beberapa tahun lalu. Yang entah karna kesadarannya
belum bagus, atau karna kemampuan ekonominya yang di bawah rata-rata
hingga gak mampu berqurban. Beneran, masih banyak bangettt daerah yang
kayak gitu. Hiks.
Dua
tahun ini, saya dan mas suami memutuskan untuk berqurban melalui
Lembaga Amil Zakat yang memfasilitasi orang-orang yang ingin berqurban.
Kami pasrahkan kepada mereka untuk didistribusikan ke daerah yang minim
hewan qurban.
Dan
tau gak, tahun lalu, hewan qurban kami menjadi satu-satunya hewan
qurban di sebuah desa. Padahal hewan qurban kami keciiilll 😢 Sediiihh,
entah cukup dibagi ke berapa orang doang. Semoga kita dimampukan untuk
qurban dengan hewab qurban yang jauh lebih baik di tahun-tahun
berikutnya. Aamiin.
Pesan
moralnya buat saya pribadi, kalaupun kita tinggal di daerah yang hewan
qurbannya berkelimpahan, alangkah jauh lebih baik kita ambil secukupnya,
lalu berikan selebihnya ke yang jauh lebih membutuhkan. Ke orang-orang
yang sekiranya bukan idul adha, rasanya kesulitan saat ingin makan
daging.
Bukankah
hikmah idul adha adalah agar kita menyembelih nafsu kepemilikan kita
terhadap hal-hal duniawi? Apa kabar hikmah itu, jika kita justru
menampung sebanyak mungkin daging saat idul adha tiba?
Sekian cerita idul adha saya. Wallahu a'lam bishawwab.
Kalau daerah kalian termasuk yang mana? Yang minim hewan qurban, atau malah yang hewan qurbannya numpuk-numpuk?