Ramadhan tahun lalu, saya pernah cerita di blog ini tentang bullying. Siapa korbannya? Saya sendiri. Hehe.
Yup, saat kecil, saya salah satu korban verbal bullying. Cerita lengkapnya silakan baca di sini yaa.
Apakah verbal bullying yang pernah saya alami saat kecil menyisakan dampak negatif yang saya rasakan hingga dewasa? Ya. Meskipun bukan jenis trauma yang parah, tapi tetap saja sempat cukup mengganggu saya dalam menjalani kehidupan saya selanjutnya.
Seiring berjalannya waktu dan dengan semakin meluasnya wawasan saya, beberapa tahun belakangan ini saya akhirnya tiba di titik 'oh, ternyata ada yang belum sembuh dari diri saya'. Lewat kesadaran itu, saya kemudian mulai mencari tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk menyembuhkan diri saya sendiri dari beberapa dampak negatif akibat verbal bullying yang pernah saya alami.
Credit: Pixabay |
Beberapa bentuk dampak negatif itu di antaranya adalah:
1. Masih menyimpan dendam pada beberapa teman masa SD
2. Kepercayaan diri yang sangat rendah
3. Tidak mudah berteman dengan orang baru
4. Mudah down saat mendengar komentar negatif
5. Sering cemas berlebihan ketika memikirkan 'apa kata orang'
Setelah membaca beberapa buku, artikel dan mengikuti beberapa akun psikolog dan praktisi kesehatan mental di Instagram, akhirnya saya pelan-pelan memulai proses untuk menyembuhkan diri dengan melakukan beberapa hal di bawah ini:
1. Cleansing
Cleansing yang saya maksud di sini bukan cleansing wajah ya -- yaiyalah jelas, hehe.
Cleansing yang saya maksud adalah mebersihkan diri -- jiwa, hati dan pikiran -- dari sisa-sisa luka akibat verbal bullying yang pernah saya alami di masa kecil.
Gimana caranya?
Pertama, sadari dan akui apapun perasaan yang kita rasakan. Karna, gimana mau nyembuhin kalo kita bahkan gak tau apa penyakitnya?
Adakalanya, kita itu nggak mau mengungkapkan apa yang sebenernya kita rasakan. Adakalanya kita seperti sengaja memungkiri perasaan kita. Seolah merasa kita jadi pribadi yang sangat buruk jika merasakan hal itu. Contoh, saat kita marah sama orangtua atau pasangan, tapi kita berulangkali bilang ke diri sendiri 'ah, enggak kok. aku nggak marah kok' -- karna takut dosa. Padahal sebenernya kita masih marah.
Hal seperti itu, akan membuat rasa marah yang masih tersisa justru akan terakumulasi dan menjadi bom waktu.
Kata dr. Jiemi Ardian, apapun yang kita rasakan adalah valid. Jangan pernah merasa bersalah hanya karna merasakan perasaan tertentu.
Lalu bagaimana cara agar kita bisa mengakui dan menyadari dampak negatif akibat bullying di masa kecil yang masih kita rasakan hingga saat ini?
Kalau saya pribadi, dengan menulis. Saya menuliskan segala yang saya rasakan saat saya mengingat bully-an teman-teman SD saya dulu. Saya tulisakan kemarahan saya pada teman-teman SD yang dulu membully saya. Semuanya.
Setelah tuntas fase menyadari dan mengakui segala perasaan kita, lalu masuk fase berikutnya. Yaitu memaafkan. Memaafkan yang benar-benar memaafkan. Bukan memaafkan yang hanya di lisan saja. Dan ini saya akui proses yang paling nggak mudah, dan butuh proses yang nggak instan.
Pertama, maafkan diri kita sendiri dulu. Maafkan diri kita yang dulu nggak berani melawan, nggak kuasa membela diri atau melakukan tindakan perlawanan agar verbal bullying itu tidak berkepanjangan. Maafkan segala ketidakberdayaan diri kita yang nggak mampu membela diri saat kecil dulu.
Saya juga memaafkan orang-orang terdekat saya, yang seharusnya bisa menjadi pihak yang melindungi saya dari bully-ing berkepanjangan. Misalnya, peran orangtua saya yang nggak melakukan apa-apa meski saya sering bercerita tentang teman-teman SD saya yang sering membully. Saya memafkan mereka karena saya tau mereka nggak paham seberapa besar dampaknya, dan gimana cara menghentikannya. Mereka hanya taunya menyuruh saya terus bersabar.
Yang berikutnya, baru memaafkan para pembully. Maafkan mereka yang saat itu mungkin tidak tau betapa buruk yang mereka lakukan. Caranya menurut saya nggak selalu dengan menyambung pertemanan dengan mereka lagi, ngobrol, dll. Saya justru sebaliknya.
Jika memang merasa nggak ingin berteman lagi dengan mereka para pembully, ya nggak usah. Memaafkan bukan berarti harus kembali menjalin hubungan kan? Kita berhak memilih siapa saja yang ada di hidup kita, dan siapa saja yang nggak perlu ada di hidup kita.
Saya sudah memaafkan para teman SD yang membully saya dulu. Tapi saya nggak ingin mereka ada di hidup saya lagi. Dan itu sah-sah saja :)
2. Cari Lingkaran Pertemanan yang Positif dan Supportif
Mempunyai lingkaran pertemanan yang positif dan supportif merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatasi dampak negatif akibat bullying yang masih terbawa hingga dewasa. Caranya, salah satunya mungkin bisa dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan positif. Biasanya, yang tertarik ikut kegiatan positif adalah orang yang positif juga kan?
3. Kenali Diri dan Lejitkan Potensi
Karna salah satu dampak terburuk akibat bullying yang masih saya rasakan hingga dewasa adalah rendahnya tingkat kepercayaan diri, maka saya butuh sesuatu untuk memperbaiki tingkat kepercayaan diri saya.
Saya berusaha untuk mengenali apa saja sih potensi yang ada di diri saya. Setelah mengenali diri, lalu saya berusaha untuk melejitkan potensi yang ada dalam diri saya tersebut.
Dengan memiliki kelebihan tertentu, Insya ALlah akan otomatis membuat tingkat kepercayaan diri kita meningkat.
Tiga point di atas adalah hal yang saya lakukan dalam upaya mengatasi dampak negatif akibat bullying yang saya alami di masa kecil. Alhamdulillah tiga langkah di atas cukup efektif membuat saya jauh lebih baik dari sebelumnya. Belum 100% hilang sih dampak negatifnya, tapi setidaknya sudah tidak terlalu mengganggu.
Bagi teman-teman yang pernah menjadi korban bullying juga, dan merasa dampak negatif yang dirasakan hingga saat ini jauh lebih parah dari yang saya rasakan, dan merasa nggak mampu mengatasinya sendiri, jangan pernah ragu untuk meminta bantuan orang yang berkompeten di bidang ini ya. Bisa dengan cara datang ke psikolog atau praktisi kesehatan mental. Kalau sakit fisik aja kita nggak pernah ragu datang ke dokter kan? Begitu juga dengan sakit batin. Jangan ragu untuk meminta pertolongan dan mengobatinya :)
"Artikel ini menjadi sumber inspirasi dan terpilih untuk dimasukkan ke dalam kampanye "Anti-BullyingWeek 2024/2025" dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl."
Wah tulisan ini mewakili saya banget mbak, hehe. Dan menulis menjadi salah satu cara melampiaskan kemarahan saya, lebih enak berteriak di tulisan sih menurut saya daripada marah-marah yang sebenarnya.
BalasHapusDari pengalaman tersebut, saya selalu berusaha dekat dengan anak saya dan membangun komunikasi yang baik. Saya nggak ingin kejadian yang sama terjadi pada anak saya :)
Waahh, kita hampir sama ya mbak. Saya juga lebih seneng berteriak melalui tulisan. Kalo suruh ngomel langsung, malah sering blank, hehe.
HapusIya, saya juga jadi berusaha sekali untuk memiliki komunikasi yg baik dengan anak. Saya pengen dia percaya dan mau cerita apapun yang dia alami dan rasakan ke saya.