Bulan Maret, saat Covid-19 resmi dinyatakan telah masuk ke Indonesia, saya mulai agak panik. Tapi tetap yakin bahwa Covid-19 nggak akan menghampiri kami. Seiring berjalannya waktu yang ternyata menunjukkan angka pasien Covid-19 yang masih terus meningkat, sempat terbersit dalam benak saya. Sepertinya tinggal tunggu waktu untuk melihat nama kita sebagai salah satu pasien Covid-19.
Dan Qodarullah, apa yang sempat terbersit di benak saya itu akhirnya terjadi juga. Benar ya ternyata, bahkan lintasan pikiran sekalipun bisa berubah menjadi sebuah doa. Selasa tanggal 15 Desember lalu, kami dinyatakan positif terinfeksi Virus Corona atau yang sekarang lebih sering disebut sebagai Covid-19.
Bagaimana Awal Mulanya Sampai Bisa dinyatakan Positif Covid-19?
Kamis, tanggal 10 Desember 2020, petang sepulang kerja, suami saya mengeluhkan kepalanya yang pusing. Saya minta dia beristirahat tanpa ada kecurigaan apapun. Suami memang sering mengeluhkan hal serupa saat sedang lelah. Pagi harinya, badannya demam. Saat ditermo, ternyata suhunya menunjukkan angka 37 derajat lebih sedikit. Akhirnya saya memintanya untuk tidak usah berangkat kerja. Daripada diminta pulang karena tidak lolos pengecekan suhu di pos security. Tapi saya tetap belum curiga apa-apa, karena suami juga cukup sering demam tiap kelelahan.
Hari Sabtunya, suami merasa jauh lebih sehat. Sudah tidak demam lagi, meskipun belum benar-benar fit. Seharian itu kami di rumah saja. Sabtu malam, beliau demam lagi. Beliau pamit pada saya untuk tidur di kamar sebelah. Jaga-jaga saja jika ternyata bukan sembarang demam, tapi saya pribadi tetap yakin itu demam biasa.
Minggu pagi, selain demam, suami juga mengeluhkan kehilangan kemampuan membau atau disebut dengan anosmia. Deg! Saat itulah saya mulai curiga bahwa demam yang dialami suami sejak kemarin lusa merupakan gejala Covid-19. Karena salah satu gejala paling khas dari Covid-19 adalah anosmia.
Kalau pas flu parah gitu sih wajar ya nggak bisa nyium bau apa-apa. Lha ini suami enggak flu. Maka, saya dan anak mulai menjaga jarak dari beliau. Saat usai tidur siang, saya merasa badan saya ikutan nggak enak, dan seperti agak demam, dan seluruh tubuh saya terasa linu. Saat ditermo, ternyata suhu tubuh saya 38 derajar. Jederrr! Makin menjadi-jadilah kecurigaan kami. Apalagi selama ini saya jarang sekali demam.
Paginya, hari senin tanggal 14 Desember 2020, kami memutuskan untuk datang ke Puskesmas terdekat dengan tempat tinggal kami, sesuai saran dari salah satu teman kami yang merupakan tenaga kesehatan. Sebelumnya, kami sudah lebih dahulu menitipkan Faza pada budhe yang biasa menjaga dia saat saya bekerja. Di Puskesmas, kami daftar priksa biasa. Saya mendapatkan nomor urut untuk masuk lebih dahulu.
Saat saya masuk dan ditanya apa yang saya keluhkan, saya mengatakan bahwa saya demam, pusing parah dan tenggorokan sedikit tidak nyaman dan merasa linu di sekujur badan. Oleh tenaga kesehatan yang bertugas, saya diminta untuk tes darah 3 hari lagi. Artinya, sepertinya mereka belum terlalu curiga bahwa saya terinfeksi Covid-19.
Selang dua nomor, giliran suami saya masuk. Saat itulah para medis mulai curiga. Oh, kok bapaknya anosmia ya. Oh, yang sebelumnya masuk dan demam juga itu istrinya. Oh, kok barengan ya.
Maka, kami langsung diminta untuk isolasi mandiri, sembari mereka berkoordinasi dengan Puskesmas Kelurahan kami, karena meskipun letaknya jauh lebih dekat, Puskesmas yang kami datangi itu beda keluarahan dengan tempat tinggal kami.
Paginya, kami diswab-antigen. Bukan PCR. Swab antigen itu konon serupa rapid, tapi bukan melalui darah, tapi melalui lendir hidung. Hasilnya bisa diambil pada Pukul satu siang hari itu juga.
lokasi swab, di bagian paling belakang Puskesmas |
Sepulang dari Puskesmas, suami demam lagi disertau pusing hebat. Siangnya, akhirnya saya datang lagi ke Puskesmas sendiri, untuk mengambil hasil swab. Begitu kami datang, petugas yang ada di tempat pengambilan hasil langsung kalang kabut. Dia meminta saya menunggu, lalu berlari ke sana-ke mari memanggil petugas lain yang tampaknya jauh lebih senior. Dari situ, saya sudah menebak bahwa hasilnya positif.
Dan begitulah adanya. Saya akhirnya dijelaskan bahwa hasilnya memang positif, dan kami diminta untuk isolasi. Saya diminta untuk meneruskan obat yang diberikan dari Puskesmas yang kemarin kami datangi, lalu diberi tambahan antibiotik dan vitamin. Selain itu, saya juga dibekali dengan surat keterangan isolasi, untuk diberikan kepada kantor.
Apa yang Kami Lakukan Setelah dinyatakan Positif Covid-19?
Sesampainya di rumah dan menyampaikan hasilnya, Bapak-Ibu mertua yang tinggal serumah dengan kami cukup panik, meskipun tidak berlebihan. Saya dan suami menenangkan diri terlebih dahulu, sebelum akhirnya bisa memutuskan langkah apa yang harus kami ambil segera.
Pihak tenaga kesehatan memang mempersilakan kami untuk isolasi mandiri di rumah, karena saya mengatakan bahwa gejala yang kami rasakan Insyaa Allah masih bisa kami atasi. Tapi setelah kami timbang lagi, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan isolasi di Pesantren Covid Sultan Agung. Sebuah pesantren yang dikhususkan untuk para pegawai lembaga tempat kami bekerja, yang dinyatakan positif Covid-19.
kamar isolasi kami |
Akhirnya suami menghubungi teman untuk minta tolong dipesankan kamar di Pesantren Covid. Setelah dipastikan kami mendapat kamar, kami langsung berangkat malam itu juga seusai sholat maghrib.
Bagaimana Kondisi Kami Saat Ini?
Banyak sekali teman yang bertanya tentang kondisi kami saat ini. Alhamdulillah kondisi kami baik, meskipun belum bisa dikatakan sehat. Kondisi tubuh kami masih naik turun, meskipun jika dibandingkan dengan dua hari lalu, rasanya jauh lebih baik.
saat jalan-jalan pagi di sekitar pesantren covid |
Saya sendiri saat ini diare disertai dengan kehilangan kemampuan membau atau anosmia dan kemampuan mencecap rasa. Jadi semua makanan yang saya makan rasanya hambar. Saya bahkan nggak bisa membedakan antara susu dan air putih jika saya meminumnya sembari memejamkan mata.
Sedangkan suami masih merasa mriang, demamnya kadang masih datang, pusing juga kadang masih datang, sedangkan kemampuan membaunya perlahan mulai kembali meskipun masih sangat tipis.
Obat Atau Suplemen Apa Saja yang Kami Konsumsi Selama Isolasi?
Selain obat-obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan berupa obat penurun panas, pereda nyeri, obat radang dan obat batuk, kami juga mengonsumsi vitamin C 500 mg sehari dua kali, habbatussauda dua butir sehari, madu dua sendok makan sehari dua kali dan propolis lima tetes per hari.
Selain itu kami juga melakukan beberapa tips dari teman, seperti sering-sering membaluri tubuh dengan minyak kayu putih, serta sering-sering menghirupnya. Semoga segala ikhtiar ini membuat imun tubuh kami segera menguat, karena Covid-19 konon hanya bisa dilawan dengan menguatnya daya tahan tubuh.
Mohon doa dari teman-teman semua, agar kondisi kami semakin membaik dan kami lekas bisa pulang serta berkumpul lagi dengan keluarga tercinta.
Semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran bagi siapapun yang membaca. Terutama untuk orang-orang yang sebelumnya menganggap remeh Covid-19. Banyak yang bilang Covid-19 itu hanya seperti flu biasa. Menurut saya pribadi, kalaupun toh seperti flu biasa, bukankah tetap jauh lebih enak sehat?
Setelah kami merasakan betapa tidak enaknya terinfeksi Covid-19, saya jadi sangat menghargai usaha banyak pihak untuk mengadakan vaksin corona di Indonesia. Beneran deh, saya mau banget vaksin asalkan segala sesuatu sudah clear (kehalalannya, dll).
Karena terinfeksi corona ternyata rasanya seperti di prank dari kepala sampai kaki. Kepala pusing, hidung dan lidah nggak berfungsi. Perut terus bergejolak, seluruh tulang linu-linu. Pokoknya nggak enak!
Saya baca di halodoc tentang update vaksin corona di Indonesia. Sudah ada beberapa perusahaan farmasi terkemuka yang siap meluncurkan
produk vaksinnya. Kita tunggu saja kabar baik selanjutnya ya. Di Halodoc, kita memang bisa mendapatkan banyak informasi ter-update tentang dunia kesehatan. Selain itu, kita juga bisa konsultasi dengan dokter jika merasakan beberapa gejala, tapi sedang berhalangan untuk menemui dokter secara langsung.