Huaaa, udah setahun lebih ya ternyata ada kita hidup dengan tatanan baru, semenjak Virus Corona ada!
Sebuah tatanan hidup yang sama sekali gak pernah terbayangkan sebelumnya. Dulu tuh mana kebayang sih ke mana-mana harus pakai masker. Mana kebayang lihat anak-anak susia sekolah tiba-tiba harus tiap hari pakai HP, padahal sebelumnya ramai sekali teori parenting soal membatasi anak bersentuhan dengan benda berlayar.
credit: Pixabay |
Dulu kita kira kondisi seperti itu akan beres dalam dua minggu. Lalu molor lagi, masih optimis akan beres dalam dua bulan. Dua bulan berlalu, eh kok gak beres-beres sampai hari ini akhirnya udah setahun lebih.
Terutama untuk para orangtua yang anaknya sekolah, dan harus menerima kenyataan bahwa anak mereka harus School From Home sejak pandemi. Bagi masyarakat kota, atau yang memadai secara sumber daya, mungkin waktu setahun sudah cukup membuat mereka beradaptasi dengan baik menghadapi kondisi ini. Tapi bagi yang tidak memadai sumber dayanya, rasanya makin hopeless. Masa depan anak-anak mereka terasa semakin buram.
Contohnya di desa kampung halaman saya. Yang sebagian besar orangtuanya sama sekali nggak ngerti teori parenting kekinian. Yang sama sekali nggak ngeh membersamai anak sekolah dari rumah itu gimana caranya. Apalagi di sana, banyak sekali para orangtua yang sekarang memilih bekerja di pabrik, dari pagi sampai sore. Yang artinya, anak dilepas tanpa pengawasan sedikit pun.
Lho, orangtua itu kan sebenarnya adalah pendidik utama bagi anak. Sekolah hanya mitra. Ya iya sih. Idealnya begitu. Tapi kan banyak hal di kehidupan ini yang jauh dari kata ideal. Dan selama ini, sekolah ada solusi terbaik bagi ketidakidealan fungsi keluarga dan orangtua di desa saya itu, dan saya yakin juga di banyak desa lain.
FYI, dalam kurun setahun ini, ada beberapa kasus anak-anak usia sekolah yang hamil di luar nikah. Ada juga yang tiba-tiba salah pergaulan, ikut kelompok punk. Sedih dan prihatin sekali melihatnya.
Terus gimana, kan masih pandemi? Pemerintah juga mengambil kebijakan itu untuk melindungi para anak sekolah?
Pertanyaannya (ini sebenarnya bukan pertanyaan saya, melainkan pertanyaan beberapa orangtua di kampung halaman saya itu), sekolah nggak boleh beroperasi kok pasar boleh buka? Pusat perbelanjaan juga hampir semuanya masih beroperasi. Titik kumpul keramaian masih banyak ditemui. Kenapa hanya sekolah yang benar-benar 100% nggak boleh beroperasi?
Anak nggak boleh sekolah, toh mereka tetap kumpul dengan teman-temannya, malah tanpa kontrol sedikitpun. Sekali lagi, iya memang ini tidak ideal. Iya, memang bagaimanapun, orangtua harusnya punya andil dalam mengatasi kondisi itu. Tapi yang saya ceritakan di sini adalah kondisi yang memang jauh dari kata ideal.
Kalau TK dan SD, okelah memang mungkin terlalu riskan, karena mereka belum cukup mampu memahami jika diberi peraturan untuk menjaga jarak, dll. Tapi untuk anak usia SMP ke atas, rasa-rasanya kok sudah agak bisa diatur ya. Akan jauh lebih baik mereka datang ke sekolah dengan guru yang memberi pengawasan, dibanding kumpul dengan teman tanpa sedikitpun pengawasan.
"Data ke sekolah tiap hari saja, mereka belum tentu paham pelajarannya. Belum tentu pinter. Lha apalagi ini sama sekali nggak pernah ke sekolah dan disuruh belajar sendiri?" begitu keluh salah satu orangtua yang saya temui.
Saya sama sekali nggak berniat menyalahkan pemerintah melalui tulisan ini. Saya paham kondisinya memang masih serba sulit. Dan kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Pemerintah pastilah tengah memikirkan langkah terbaik. Semoga dengan sudah divaksinnya para guru dan orang-orang yang ada di bidang pendidikan, pelan-pelan sekolah akan mulai beroperasi kembali. Aamiin.