Assalamu'alaikum. Hai, Pak... Apa kabar di sana?
Seandainya Bapak benar-benar bisa membaca surat ini dari dimensi bapak sekarang, mungkin bapak akan tertawa, ya?
Lucu memang, pak... Bisa-bisanya aku kepikiran menulis surat cinta untukmu, justru saat engkau sudah ada di lain dunia. Dulu ke mana saja?
Dulu, jangankan menulis surat cinta, sekedar kirim WA saja hampir gak pernah kecuali ada perlu penting. Jangankan menulis surat cinta, ngobrol sama bapak lama-lama saja aku enggan.
Tapi itu dulu, Pak. Sekarang beda. Karena sekarang, hanya lewat nulis ini (semoga) hatiku bisa sedikit lega.
Melalui surat cinta ini, Pak... Ijinkan aku meminta maaf. Maaf yang sayangnya tidak pernah sempat aku katakan langsung pada Bapak, karena aku sombong sekali merasa Bapak lah yang harusnya minta maaf ke aku.
Iya, aku merasa Bapak harus minta maaf, karena bapak banyaaakkk sekali salah sama aku. Aku dulu selalu iri, Pak. Iri sama anak-anak perempuan yang menjadikan ayahnya sebagai cinta pertama. Alih-alih cinta pertama, Bapak justru menjadi patah hati pertamaku.
Patah hati yang kemudian membuatku terbelenggu dan jadi sulit sekali melihat kebaikan Bapak.
Gak perlu rasanya aku jabarkan di sini betapa banyak pengorbanan dan perjuangan bapak demi aku. Karena aku gak akan mampu mengurainya satu per satu.
Yang jelas, Pak... seburuk apapun sikapku padamu dulu, semoga bapak percaya aku tetap sayang bapak. Meski sayangku hanya diam-diam dan tak pernah berusaha aku ekspresikan.
Kalau gak sayang, Pak... dulu aku gak mungkin menangis tiap lihat Bapak masih harus nyopir truck di usia yang sudah senja, tapi juga gak kuasa meminta berhenti karena aku gak mampu menanggung konsekuensinya.
Foto yang dulu sekali pernah dikirimkan Mas Thol dan bikin aku nangis seketika melihat wajah kuyumu |
Kalau gak sayang, Pak... Aku gak mungkin selalu marah dan berusaha mengingatkan Bapak saat Bapak melakukan kesalahan. Meski caraku ternyata jauh dari adab seharusnya anak kepada orangtua.
Iya, Pak... aku sayang Bapak. Gak cuma aku... Mbak Nita dan Mas Thol pun sayang Bapak. Sama sekali tidak seperti yang Bapak pikir, bahwa kami selama ini hanya sayang pada Ibu.
Maaf ya, Pak... maaf jika rasa sayang kami ternyata tidak cukup besar sehingga kurang bisa Bapak rasakan. Maaf jika rasa sayang kami akhirnya hanya bisa kami ungkapkan dengan cara seperti ini. Maaf jika bapak pergi masih dengan membawa pertanyaan tentang anak-anakmu yang seperti tidak menyayangimu.
Selepas kepergianmu, Ibu bercerita... ternyata selama ini Bapak sering berdoa, meminta agar Allah memberi akhir hidup yag mudah tanpa menyusahkan anak-cucumu.
Kenapa, Pak? Apakah lagi-lagi karena Bapak merasa kami gak sebegitu sayang pada Bapak, hingga Bapak takut kami tidak mengurus Bapak dengan baik jika Bapak sakit?
Tapi nyatanya kok iya ya, Pak. Dulu, dikabari Bapak sakit pun kok aku biasa saja. Pulang dalam rangka menjenguk Bapak sakit pun, kok aku belum pernah duduk dekat dengan tubuhmu, lalu memijat atau mengelus punggungmu.
Ya Allah, Bapak... iya, pantas saja jika Bapak merasa aku gak sayang Bapak.
Apakah saat berdoa minta dimudahkan akhir hidup Bapak tanpa merepotkan anak-cucu itu, Bapak sambil memendam sakir dan sedih karena kami, Pak? Hingga doa itu makbul sekali dan langsung Allah kabulkan dengan pengabulan yang beribu-kali lebih indah?
Ya Allah, Pak... habis kata untuk mengungkapkan apa yang bergumul dalam dadaku.
Sedih dan tidak menyangka sedikit pun Bapak pergi tanpa pernah kembali lagi. Sedih karena aku ternyata gak pernah punya kesempatan untuk memeluk tubuhmu untuk yang terakhir. Kesempatan yang sebenarnya Allah berikan bertahun-tahun, tapi aku sia-siakan. Sedih karena bahkan batu nisanmu pun kami gak tahu seperti apa wujudnya.
Tapi apakah aku layak sedih, Pak?
Apakah aku layak sedih jika ternyata ini adalah bentuk dikabulkannya doamu pada Allah? Apakah aku layak sedih, sedangkan Bapak pergi dengan begitu indah... saat sedang ihrom, di tengah-tengah ibadah, di tempat yang sangat baik (masjidil haram) dan di hari terbaik?
Pakaian terakhir yang Bapak kenakan saat tutup usia: pakaian ihram. Masyaa Allah 🤍 |
Di tengah carut-marut perasaanku, Pak... Alhamdulillah masih ada sedikit penghiburan. Setidaknya meski hanya sepotong-sepotong, di 7 hari terakhirmu kita selalu bertukar pesan WA. Setidaknya di pekan terakhir hidupmu, kami melihat Bapak tampak bahagia sekali.
Salah satu senyum terbahagia yang pernah aku lihat di wajahmu |
Terima kasih ya, Pak. Terima kasih untuk ribuan kilometer jalan yang pernah engkau lalui demi beberapa lembar rupiah untuk melunasi uang SPP kami. Terima kasih untuk bentakan-bentakan kecilmu untuk memaksa kami sholat dan belajar ngaji. Terima kasih untuk doa diam-diammu yang gak pernah aku tau, yang mengantarkanku pada aku yang hari ini. Terima kasih untuk besarnya sayangmu, yang gak pernah kuasa engkau tunjukkan, atau berusaha engkau tunjukkan tapi malah aku salah artikan.
Selamat beristirahat ya, Pak. Selamat beristirahat dari dunia yang begitu melelahkan dan tidak ramah padamu. Selamat beristirahat dari kerasnya hidup yang sudah puluhan tahun kau jalani. Semoga kuburmu, menjadi tempat istirahat yang jauh lebih nyaman dibanding kasur kerasmu di rumah.
Sampai jumpa di dimensi berbeda ya, Pak. Semampuku, aku akan berusaha menjadi salah satu amal yang tidak terputus untuk Bapak, yaitu menjadi anak sholihah, meski jalannya pasti terjal dan berliku sekali.
Kapan-kapan, datang di mimpiku ya, Pak... Pengen lihat senyum Bapak lagi seperti di foto-foto terakhirnya Bapak yang ada di HP-ku :')
NB:
Bapak berpulang ke Rahmatullah:
Jum'at, 10 Maret 2023M/18 Sya'ban 1444H,
di Makkah Mukarromah, seusai thowaf sebelum sa'i,
sebelum subuh waktu Makkah.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung, tinggalkan kesanmu ya :)